Jung Ho Seok

384 45 2
                                    

Hoseok terkejut saat kekasihnya, [Name], menelpon pada jam latihan mereka. Di saat seperti ini, biasanya mereka hanya berbicara melalui pesan singkat, jarang sekali [Name] menelponnya karena takut mengganggu. Lalu mengapa [Name] menelponnya sekarang.

“Hoseok-ah,” suara [Name] terdengar begitu rapuh di telinga Hoseok. “Bisa ke apartemenku sekarang? Aku membutuhkanmu.”

Mata Hoseok langsung menatap sekelilingnya. Semua member sedang latihan, berusaha mengingat gerakan baru dengan tubuh mereka. Hoseok sudah lebih dulu hafal dan memilih istirahat. Namun, apa ia bisa pergi ke apartemen kekasihnya sekarang?

“Hoseok?” panggil [Name] lagi. “Tidak apa-apa kalau kau tidak bisa datang. Mampirlah jika latihannya sudah selesai. Maaf aku mengganggumu.”

Tanpa menunggu balasan Hoseok, [Name] memutus sambungan telepon. Tidak. Hoseok harus menemui [Name]. Suara gadisnya begitu lemah saat bicara tadi. Begitu rapuh. Entah apa yang terjadi padanya, tapi saat ini [Name] membutuhkannya. Gadis itu yang mengatakannya sendiri. Lalu bagaimana caranya?

Seakan menyadari raut wajah Hoseok yang sedikit gelisah, Namjoon menghampirinya, membiarkan dirinya tertinggal beberapa gerakan. Hoseok tidak menyadari Namjoon sudah duduk di sampingnya, pikirannya masih berkutat pada [Name] dan caranya menemui gadis itu.

“Ada sesuatu yang mengganggumu?” suara Namjoon menyadarkan Hoseok pada kenyataan.

Hoseok menghela nafas lega. “[Name] menelponku tadi, suaranya seperti menahan tangis. Ia menyuruhku untuk datang ke apartemennya, juga berkata kalau ia membutuhkanku. Aku ingin sekali menemuinya.”

Tanpa pikir panjang, Namjoon menyahut. “Pergi saja. Kau sudah menghafal gerakannya dengan baik, kurasa tidak masalah kalau kau pergi lebih dulu.”

“Kau serius?” Hoseok menatap Namjoon tidak percaya, tapi tidak bisa menyembunyikan sirat bahagia.

“Kalau hal ini terjadi padaku, aku juga akan pergi,” Namjoon mengangguk yakin. “Aku yang akan mengurus sisanya, kau hanya perlu membuat kekasihmu kembali seperti biasanya. Member yang lain juga pasti akan setuju dengan keputusanku.”

Tanpa pikir panjang, Hoseok meraih tasnya lalu berlari keluar meninggalkan ruang latihannya dengan kecepatan fantastis. Para member melihatnya dengan tatapan penuh tanda tanya, tapi ia akan menyerahkan itu pada Namjoon. Prioritasnya sekarang adalah menemui [Name].

Hoseok tidak berhenti untuk mengetuk pintu. Kebiasaan jelek kekasihnya adalah jarang mengunci pintu, walau terkadang menjadi keuntungannya. Tujuan pertama Hoseok adalah kamar [Name], tempat biasa [Name] mengunci dirinya jika ada masalah.
Benar saja, ia menemukan [Name] meringkuk di samping kasur, memeluk lututnya sendiri. Suara isakan jelas terdengar dari [Name]. Hoseok merasa sesak seakan ada sesuatu yang menghimpit dadanya saat mendapati [Name] tengah berusaha berhadapan dengan kesedihannya sendirian.

“Jagiya,” Hoseok beringsut mendekat pada [Name], membawa gadisnya dalam pelukan panjang yang nyaman.

“Hoseok-ah,” gumam [Name]. Gadis itu mencengkeram kausnya erat seakan ada sosok yang merampas semua kebahagiaannya jika cengkeramannya mengendur. “M-mereka bertengkar lagi. Aku tidak bisa menahannya. K-kenapa mereka tidak bisa mengurus hubungan mereka sendiri!? Aku tidak ingin dilibatkan dalam pertengkaran suami-istri yang menyiksaku. Aku tidak ingin mereka bertengkar lagi. Bagaimana caranya!?”

Tidak ada yang bisa Hoseok lakukan selain diam dan mendengarkan.

“Kenapa masih bersama kalau tidak saling mencintai? Kenapa memilih bertahan dan bertengkar seumur hidup daripada berpisah? Aku tidak mengerti cara berpikir mereka. katakan padaku Hoseok-ah, bagaimana cara mereka berpikir.”

“Aku tidak tahu, Jagiya. Aku tidak tahu,” Hoseok mencium puncak kepala [Name]. Tangannya tidak berhenti mengusap lengan gadisnya dengan gestur menenangkan. “Kita tidak akan pernah paham dengan cara berpikir seseorang, setidaknya belum. Selalu ada alasan di setiap tindakan.”

[Name] semakin dalam menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Hoseok. “Alasan apa yang begitu kuat sampai mereka tetap mempertahankan hubungan tidak sehat ini, Hoseok-ah, sampai melibatkan putri mereka sendiri untuk pertengkaran internal. Aku tidak mengerti. Rasa sakit setiap kali mendengar Ibu menangis dan Ayah berteriak. Sesak.”

Hoseok semakin erat memeluk [Name]. “Aku tahu.”

Perlahan tapi pasti tangisan [Name] mereda. Hoseok sama sekali tidak peduli dengan bajunya yang basah atau punggungnya yang pegal karena menahan beban dua orang. Tidak. Pikirannya sudah tersita dengan [Name]. Betapa leganya ia saat melihat [Name] tertidur dalam pelukannya.

“Semuanya akan baik-baik saja, Jagiya. Akan baik-baik saja,” Hoseok menghapus jejak air mata [Name] dengan ibu jarinya. Bibirnya menyapu dahi dan pelipis [Name]. “Kau sudah cukup mengeluarkan air mata. Kali ini, biarkan aku yang menangis untukmu. Setidaknya aku tidak perlu merasa sesak karena melihat gadis yang kucintai menangis.”

Mianhae karena udah lama gak update.. Btw, kalian tahu kalau idol kita ini punya teorinya sendiri tentang lagu Blood Sweat Tears dan mv sebelumnya? Kalau udah tahu, kalian udah bisa nemuin teorinya?

Seven WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang