Jeon Jung Kook

361 39 7
                                    

Tidak ada yang bisa menggantikan momen ini.

Momen di saat gadisnya, [Name], membelai lembut rambutnya atau saat melihat gadisnya tertawa tanpa beban. Jungkook yakin tidak ada sesuatu yang mampu mengalahkan betapa nyamannya ia saat ini. Tidak ada.

Karena yang membuat momen ini sempurna adalah [Name]. Gadis yang selalu menemaninya bahkan setelah ia memutuskan untuk pergi ke Seoul. Gadis yang senyumnya mampu mencerahkan harinya yang paling buruk. Gadis yang pelukannya selalu menenangkan Jungkook yang tengah terbakar amarah.

Bahkan Daesang dan menjadi terkenal dalam skala internasional pun tidak akan bisa menyaingi betapa bahagianya ia sekarang.

“Jangan menangis karena aku, hm?” ucap [Name] perlahan, tidak ingin menghancurkan suasana tenang di antara mereka.

Tangan [Name] masih terus bergerak membelai kepala Jungkook sambil sesekali memainkan helaian rambut halusnya. Gadis itu tidak melepaskan pandangan dari kekasihnya, ingin mematri dengan baik struktur wajah Jungkook yang mungkin tidak akan bisa ia lihat lagi. Begitu juga dengan Jungkook. Matanya terus menyusuri setiap jengkal wajah [Name] yang bisa dijangkaunya, berusaha mengingat sejelas mungkin wajah yang tidak pernah absen dari penglihatannya selama bertahun-tahun.

“Bagaimana bisa?” Jungkook memejamkan mata kala tangan lembut [Name] menyentuh pipinya. “Mengetahui salah satu hyung mengalami kesulitan saja aku sudah sangat sedih, apalagi harus kehilanganmu?”

[Name] menundukkan wajahnya, meraih dahi Jungkook dengan bibirnya. “Kau kuat. Aku tahu Jungkook-ku sangat kuat. Ia bisa menahan perasaannya dengan baik dan bukan laki-laki yang cengeng, kan?”

“Kau sangat egois [Name],” gumam Jungkook. Tidak ada kesan menuduh dalam nada bicaranya, namun saat pandangan mereka bertemu [Name] melihat sirat sedih yang amat sangat daripada menuduh. “Bagaimana bisa kau berharap aku akan baik-baik saja saat salah satu sumber bahagiaku pergi? Dan kau ingin agar aku tetap tersenyum.”

“Karena saat aku pergi hanya keluarga, teman-temanku dan dirimu saja yang merasa kehilangan, tapi kalau kau tidak bisa memamerkan senyum gigi kelinci itu dan terus saja berpikir untuk menyusulku maka seluruh dunia akan merasa kehilangan.”

Jungkook meraih tangan [Name], menggenggam tangan kecil yang berhasil menopangnya saat berulang kali ia terjatuh. Ia kembali memejamkan mata, berusaha menyembunyikan air mata yang sudah menggenang dan siap turun kapan saja takdir mengambil [Name] darinya.

“Kenapa [Name]-ah? Kenapa harus dirimu yang mengalami semua ini? Kenapa kau menolak untuk melakukan pengobatan? Kenapa saat kau menyerah malah aku yang merasa kehilangan? Kenapa?” Jungkook menggeram lemah.

“Karena aku yakin ada sesuatu yang bisa kau pelajari dari semua ini. Karena pengobatan secanggih apapun hanya akan sia-sia untukku, Jungkookie. Karena aku sudah lelah menanggung semua ini, bahkan saat kau masih ingin berjuang.”

Jungkook marah pada dirinya dirinya sendiri. Ia kesal karena dengan julukannya sebagai golden maknae ia masih tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah kepergian [Name]. Ia frustasi karena walaupun ia ingin melakukan sesuatu, [Name] tidak akan membiarkannya seakan gadis itu sudah siap meninggalkannya kapan saja.

Ya, takdir memang tengah mempermainkan mereka. Beberapa tahun lalu Jungkook berani bertaruh ia dan [Name] akan hidup bahagia sampai keduanya sudah memiliki cucu dan tidak sanggup lagi untuk berdiri, tapi hari ini ia yakin semua itu hanya akan menjadi bayangannya saja. Karena kematian sanggup merenggut [Name] kapan saja dari pelukannya.

[Name] menderita kanker otak stadium akhir. Klise. Namun, sesak dan rasa hampa yang Jungkook alami bahkan sebelum [Name] pergi mampu membuatnya tidak bernafas normal.

“Aku tidak ingin membicarakan ini lagi Jungkookie,” bisik [Name] lemah. “Bisakah kita tidur sekarang? Aku sangat mengantuk. Aku berjanji kita akan melanjutkan pembicaraan ini besok pagi, oke?”

Jungkook tidak memiliki pilihan lain selain menurut. Tatapan mengantuk setengah memelas [Name] mampu membuatnya melakukan apapun yang diinginkan oleh [Name]. Ia menuntun gadisnya ke kamar lalu memeluknya erat seakan tidak mengizinkan siapapun untuk menyentuh [Name] tanpa seizinnya.

[Name] menyamankan diri dalam pelukan Jungkook. Perlahan tapi pasti matanya mulai terpejam saat suara Jungkook mencapai indra pendengarannya. Tangan Jungkook bergerak naik-turun di punggung [Name], sesekali mencium puncak kepala gadisnya seraya berharap momen seperti ini akan bertahan selamanya.

Tapi tidak.

[Name] tidak menepati janjinya. Karena saat Jungkook terbangun keesokan harinya, ia tidak lagi merasakan kehangatan yang selalu ia rasakan kala terbangun dengan [Name] di pelukannya. Tidak ada lagi helaan nafas ringan dan teratur layaknya sedang tertidur. Tidak. [Name] masih memejamkan matanya dan akan selalu begitu sampai Jungkook menyusulnya kelak.

Air mata yang sudah ditahannya sejak semalam akhirnya tumpah. Jungkook terisak sambil mengeratkan pelukannya pada [Name]. Ia tidak bisa mendengar detak jantung yang menjadi melodi paling indah untuk telinganya. Tidak.

[Name] menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan laki-laki yang paling ia cintai.

“Kumohon ingatlah bahwa aku akan selalu mencintaimu, bahkan setelah kau tidak lagi berada di sampingku [Name]-ah. Aku sangat mencintaimu sampai terasa menyakitkan.”

Inilah hasil dari galau beberapa malam... Gimana menurut kalian?

Seven WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang