Park Ji Min

333 38 16
                                    

Adakah yang percaya padaku bahwa laki-laki yang tengah menari dengan anggunnya di atas panggung adalah seseorang dari masa laluku? Dunia mengenalnya sebagai Jimin dari BTS, sementara aku mengenalnya sebagai Jimin si pipi tembam dari Busan. Adakah yang percaya bahwa Jimin pernah menjadi seseorang yang berpengaruh dalam hidupku, ralat, masih menjadi orang yang berpengaruh dalam hidupku?

“[Name]-ah. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, tapi kau jangan marah,” suara Jimin yang terdengar ragu-ragu membuatku sedikit was-was.

“Jangan bilang kalau kau menyukai gadis lain Park Jimin, karena aku akan menggantungmu terbalik di pohon kalau sampai itu terjadi,” ancamku sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Jimin terkekeh pelan lalu menggelengkan kepala. Ia meraih tanganku kemudian menautkan jemari kami dan menggenggamnya erat. Jimin menarikku mendekat hingga hampir tidak ada jarak di antara kami. Dahinya beradu dengan dahiku, nafas hangatnya menyapu lembut wajahku. Inilah momen yang tidak akan pernah bisa terganti oleh apapun.

“Kau ingat audisi yang kuikuti beberapa waktu yang lalu? Aku lolos audisi itu,” bisik Jimin seraya memejamkan matanya. Aku hampir saja berteriak kegirangan, namun kuurungkan karena merasa masih ada yang ingin Jimin katakan. “Karena itu aku harus menetap di Seoul.”

Aku tidak tahu apa yang kurasakan. Perasaan bahagia membuncah mendengar kerja keras kekasihku tidak berakhir sia-sia, tapi sanggupkah aku menjalani hari tanpa seseorang yang sudah terbiasa kulihat selama belasan tahun? Sanggupkah aku menghirup udara yang tidak sama dengannya.

“Kapan kau akan berangkat?” tanyaku dengan suara sedikit gemetar.

Jimin menghela nafas berat seolah tidak ingin menjawab pertanyaanku, tapi ia tidak memiliki pilihan lain. “Besok.”

Aku terisak. Saat itu juga Jimin memelukku, mencoba meredakan isakanku dengan kalimat menenangkan yang tidak begitu terdengar di telinga. Aku tidak akan menjadi seseorang yang munafik, membayangkan hidupku tanpa Jimin saja sudah terasa sesak apalagi menjalaninya. Namun, aku juga tidak ingin menjadi kekasih yang egois. Tidak pernah dalam khayalan terliarku sekalipun, aku menyuruhnya untuk memilih antara diriku atau mimpinya. Tidak pernah.

“Saat kau di Seoul nanti. Berjanjilah padaku kau akan menjadi penyanyi hebat sampai aku tidak percaya kau berada di puncak. Berjanjilah padaku kau akan berusaha keras sampai meraih semua impianmu. Berjanjilah padaku kau tidak meninggalkan Busan dengan sia-sia,” bisikku masih membenamkan wajah di dada Jimin.

“Aku berjanji,” Jimin mencium puncak kepalaku berkali-kali. Pelukannya tidak mengendur, hanya semakin mengerat seolah dunianya berubah runtuh saat ia melepaskanku dari pelukannya.

“Aku ingin menginap di rumahmu malam ini, boleh ya?” pinta Jimin saat kami menjauhkan diri dari satu sama lain.

“Tentu saja,” aku tidak memiliki pilihan lain selain mengangguk.

Tidak ada satupun dari kami yang mampu memejamkan mata malam itu. Aku sudah berhenti menangis, tidak ingin mengkhawatirkan Jimin dan memutuskan untuk kembali menangis kalau ia sudah berangkat ke Seoul. Jimin masih enggan melepaskan pelukannya, begitu juga denganku yang tidak ingin mengangkat kepalaku dari bahunya. Kami hanya saling memeluk sepanjang malam, mencoba mengukir dalam ingatan momen terakhir kami dalam waktu yang lama.

Sayangnya, pagi datang begitu cepat. Aku melepas kepergian Jimin, ingin bersama dengannya walau hanya satu detik lebih lama. Sebelum pergi, Jimin mencium dahiku lama dan membisikkan sesuatu di telingaku.

“Aku akan menjemputmu saat orang banyak mengenal siapa aku. Aku berjanji akan kembali ke Busan. Kembali padamu.”

Jimin tidak memintaku untuk menunggunya. Tidak. Tapi ia berjanji akan kembali padaku suatu saat nanti. Karena itu kuputuskan untuk tetap menunggunya walaupun aku tidak tahu sampai kapan. Banyak yang tidak percaya dengan sikapku, tapi aku percaya dengan Jimin. Percaya ia akan kembali padaku. Bukankah kepercayaan yang melandasi hubungan dalam waktu yang lama?

Suara bel membuyarkan lamunanku tentang masa lalu. Televisi sudah tidak menayangkan tentang acara musik lagi. Sepertinya aku terlalu hanyut dalam kenangan bersama dengan seseorang. Ketika suara bel menggema lagi, aku bangkit dengan perasaan enggan. Siapa yang bertamu saat jam makan malam sudah lewat?

Saat membuka pintu, aku terbelalak mendapati dirinya sudah berada di hadapanku dengan senyuman yang membuat matanya menyipit lucu. Tidak percaya dengan kenyataan dihadapanku, aku kembali menutup pintu lalu membukanya lagi dan ia masih tetap berdiri di sana, kali ini dengan dahi mengernyit bingung.

“Jahat sekali. Aku pulang karena merindukanmu, tapi kau malah membiarkanku di luar kedinginan dan menutup pintu,” ujar Jimin sambil merentangkan tangannya. “Kau tidak merindukanku?”

Aku melompat ke arahnya tanpa berpikir dua kali. Astaga... sudah berapa lama sejak terakhir kali aku berada dalam kukungan lengannya. Panggil aku gadis cengeng karena tidak bisa menahan air mata saat memeluknya, tapi siapa yang mampu menahannya saat penantian yang dilakukannya tidak berakhir sia-sia?

“Kau kembali, Jim. Kau kembali,” isakku.

“Jangan menangis. Aku akan ikut menangis kalau kau tidak berhenti,” gumam Jimin seraya memainkan rambutku, menyembunyikan wajahnya di lekukan leherku. “Bukankah aku sudah berjanji akan kembali padamu saat orang banyak mengenalku? Memang masih banyak yang harus kulakukan agar seluruh dunia mengenalku, tapi aku tidak sanggup lagi.

“Aku sudah bekerja keras beberapa tahun terakhir sambil memikirkanmu. Kupikir sudah waktunya aku datang dan mengklaim gadisku lagi. Mulai saat ini kau harus menerima keberadaanku, karena aku tidak akan melepaskanmu dalam waktu dekat.”

Seven WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang