" Moccacino aja dulu, satu. !"
" Baik, ditunggu ya pak !". pelayan itu menutup buku catatannya dan berbalik meninggalkan lelaki itu.
" ehh, bentar, mas !. saya minta asbak sekalian ya !". sahut lelaki itu sembari mengacungkan sebuah puntung. Dari kejauhan pelayan itu mengangguk, memahami perintahnya.
Jessshh!
Percikan api membakar ujung puntungnya. Diikuti kepulan asap yang keluar dari mulutnya. Bukan pilihan yang buruk untuk menangkal semilir angin malam yang sedari tadi menusuk. Dingin terasa menggenapi kulit jemarinya. Begitu pula dengan suasana disekitarnya, semakin mengucilkan hatinya. Tak seperti meja-meja lainnya yang penuh dengan cengkrama, didepannya hanya tampak kursi kosong. Malam ini dia sendiri. dalam kalut.
" Permisi, pak.". Pelayan menyapa dengan ramah, membuyarkan lamunannya. "...satu Moccachino, yak... dan ini asbaknya.". Dia seketika mengambil asbak terlebih dahulu, segera menjatuhkan abu yang sedari tadi menggantung.
" ..ada yang bisa dibantu lagi, pak?" Pelayan menawarkan dengan senyum ramah.
" Cukup, terima kasih yaa " Lelaki itu membalas dengan ramah.
Dia menyeruput isi cangkir didepannya. Kembali dia dapatkan media lain sebagai penghangat malam. Sebenarnya "hangat" lebih pantas disandingkan dengan kondisi perasaan seseorang. Menyentuh secangkir Moccacino yang baru disajikan tentu saja menghangatkan kulit jemari. Tapi, belum tentu menghangatkan suasana hati lelaki itu. Selama bangku didepannya kosong, tak akan ada kata dan interaksi. Hangatnya kini tak abadi, mengikuti kadar Moccacino yang kini tinggal tiga sendok lagi. Jika saja ada lawan bicara didepannya, tentunya isi dalam cangkir itu akan bertahan lebih lama. Karena sejatinya memang begitu. Interaksi tidak menawarkan hangat layaknya secangkir Moccacino, tapi dia mampu mengkalkulasi dingin dan membaginya sejumlah hati yang terhubung didalamnya.
Tangan kanannya merogoh saku di jaket tebalnya. Kemudian meraih isi didalamnya, berupa sebuah kertas yang terlipat. Dia mengaktifkan flashlight mode pada handphone-nya. Rasanya bukan karena tempatnya yang terlalu gelap, sehingga menyulitkan pandangannya menangkap kata. Tetapi, pikirannya ingin lebih detail pada kata demi kata. Bisa jadi pula matanya yang sedari tadi bergerilya ingin mencari sesuatu yang ada dalam kertas penuh bercak itu. Hingga pada suatu sudut kanan bawah bertuliskan satu nama, sorot senter berhenti dan berusaha memperjelas dengan lebih dekat. Bagian itu memiliki bercak dengan motif paling lebar diantara yang lainnya. Jemarinya mulai meraba pelan, kemudian mendekatkan pada indera penciumannya. Di ulanginya hal itu pada bercak-bercak yang lain. Dan seketika hipotesanya terbangun. Ini bercak darah yang sama.
Lelaki itu menghela nafas. Menekan tombol flashlight off, lalu menghabiskan tegukan Moccachino terakhir. Jemari kirinya memijit pangkal hidung dengan harap mengurangi lelah dan kalut yang sedari tadi tak ingin dia bagi dengan sekitarnya. Pandangannya beralih setelah menyadari handphone-nya bergetar karena menerima satu notifikasi pesan.
*Klik.
Dia membuka isi pesan :
----Ayah, aku sudah tahu pelakunya !----
Lelaki itu tersenyum kecil.
�4y���
YOU ARE READING
ENCODE
Mystery / Thriller2 x 24 jam. Itulah waktu yang diberi ayahnya untuk menyelesaikan sebuah kasus terbunuhnya Tuan Tama. Dalam prosesnya, Hannada terjebak dalam motif kasus yang membingungkan. Banyak alur, kode, serta motif yang sulit dipecahkan. Kode-kode itu muncul d...