Tujuh | 3/5

12 0 0
                                    

Pikiran Han saat ini mengajak mensimulasikan kejadian yang terjadi sebelum Tuan Tama meninggal. Dia mereka-reka sepuluh hingga tiga puluh menit pra insiden, tentang kemungkinan yang terjadi di ruangan ini. Jika seseorang meninggal karena tusukan benda tajam, maka dugaannya selalu bermuara pada dua hal. Ada yang menusuk atau si korban yang menusuk sendiri. Kuncinya ada pada sepuluh-tiga puluh menit itu. Beragam kemungkinan yang bisa terjadi di menit-menit itu. Seperti pertengkaran hebat, ancaman dari orang asing, hingga akal-akalan si pelaku dalam mengatur kejadian seolah-olah korban bunuh diri. Banyak yang masih belum diketahui oleh seorang Hannada. Termasuk tentang terror yang sering diterima Tuan Tama, seperti yang diceritakan Bung Andi saat ini di lantai satu.

Inci demi inci sudut ruangan itu disusuri dengan teliti. Seolah tak ingin melewatkan sekecil apapun itu yang mungkin menjadi petunjuk. Langkahnya beralih, membalikkan badan menuju sudut lain yang sedari tadi tak terjamah. Meja perabot dan rak-rak tempat menyimpan barang pecah belah. Disudut itulah kini tubuhnya mematung, tangannya membolak-balik perabot dengan hati hati, sementara pandangannya tak putus sedikitpun. Tapi, tetap saja tak menuai hasil. Lantas, dia mengalihkan fokus pada rak yang tepat berada didepannya. Usai membuka pintu rak, tampaklah 5 baris cangkir, berjejer dengan berbagai ukuran tersusun rapi membentuk vertikal. Semakin keatas ukurannya semakin kecil, susunannya kokoh dengan lepek yang menopang antar cangkir disela-selanya.

*Tunggu

Salah satu dari cangkir di baris kelima ada yang aneh. Retinanya mengambil fokus tajam menuju pada cangkir paling atas baris tersebut. Posisinya paling beda diantara yang lainnya. Cangkir itu seperti diletakkan dengan terburu-buru dan tanpa alas yang menjadi sela. Alhasil, posisinya miring dan setengah masuk kedalam cangkir dibawahnya. Han meraih cangkir tersebut dengan tangan terbungkus kaus tangan karet. Kini tidak hanya posisinya yang janggal, Han juga mendapati cangkir itu tidak memiliki gagang. Semacam pecah atau sengaja dipatahkan, terlihat dari bekas dua patahan pada sambungan gagang cangkir.

Han merunduk memeriksa area bawah meja, berharap patahan gagang itu masih ada. Dia mencari dengan seksama, sesekali mengangkat kaki-kaki kursi walau kini otaknya sudah sulit diajak kompromi. Pandangan dan pikirannya mulai lelah, karena sedari tadi menyelidiki tak kunjung menuai hasil. Bukan petunjuknya yang hilang atau tidak ada. Tetapi, layaknya makanan yang selalu memiliki masa layak untuk dikonsumsi. Semakin hari makanan itu akan mudah menurun kualitasnya karena bereaksi. Apalagi dengan bercak darah yang mudah mengering, pecahan beling yang mudah disapu hingga gagang cangkir yang mudah untuk disembunyikan.

" Wooy ! Kamu nyari apa ?" Tiffany menggebrak, dia sengaja mengagetkan Han yang separuh badannya terlihat masuk ke area bawah meja.

" Aduuh !". kaget Han kesal. Dia membenarkan posisinya dan menatap Tiffany dengan penuh emosi. Tanggannya mengepal, tapi tak sampai berujung ucap serapah. Emosinya kalah dengan rasa penasarannya mengenai rekam sidik jari yang sedari tadi dia tunggu.

" Bagaimana hasil rekamnya ? sudah keluar ?" Han bertanya penuh penasaran.

Tiffany hendak membuka mulut. Namun, mendadak disambar oleh jawaban salah satu petugas disebelahnya.

" Sudah, Han !. Hasilnya positif. Sidik jarinya match dengan sidik jari yang ada pada gagang pisau itu !". Jawab petugas tanpa ragu. 

ENCODEWhere stories live. Discover now