Satu I 1/3

31 1 0
                                    


Sepertinya ada yang tak beres dalam PT Prastama. Tak ada raut berkabung dalam wajah komisaris dan lingkup para top management. Seolah mereka sudah lupa. Tak berpikir kehilangan sosok pimpinannya sedikitpun. Bagaimanapun, Tuan Tama bagaikan Bapak segalanya di Prastama. Menjadi Otak, Jantung bahkan Hati perusahaan. Tetapi, mungkin kematian Tuan Tama berada di momentum yang tepat. Momen dimana raksasa Prastama sudah tumbuh dewasa, mandiri dan tak butuh akan dirinya lagi. Sungguh Ironi.

Tak ada hari berkabung. Esok hari pasca kematian. Para pemegang saham dan komisaris mengadakan rapat internal. Bukan untuk mengusut kematian Tuan Tama. Tetapi, membahas siapa yang menjadi nomor satu di Prastama. Memang, pada dasarnya Prastama adalah perusahaan turun temurun keluarga besar Adhiaksa Prastama. Tuan Tama mungkin akan menjadi generasi terakhir yang akan memegang kendali. Karena, keturunan Tuan Tama tak cukup mumpuni dalam mengelola perusahaan. Dia hanya meninggalkan seorang Lady Home yang cantik jelita. Porsi saham Tiffany hanya 10%. Itu tak cukup kuat.

"Proookk... Prookk.. prokk !"

Suaratepuk tangan riuh ramai terdengar dari balik ruang rapat komisaris. Rupanya PTPrastama sudah menemukan Direkturnya yang baru. Entah siapa yang terpilih menggantikanTuan Tama. Rasanya semua belum siap untuk digantikan. Belum siap jika akan ada kebijakan-kebijakan salah. Keputusan yang tak strategis. Dan perubahan system yang telah dibuat Tuan Tama dengan sangat baik. Mungkin itu pula yang dirasakan Amira.

Sementara itu, Amira harus tetap menjalani hari-hari sepinya di Prastama. Aktivitasnya lebih banyak berdiam di ruangan Tuan Tama. Ukuran ruangannya sederhana, karena Tuan Tama yang memintanya. Sofa abu-abu tempat biasa menerima tamu, tepat di sebelah kanan meja kerja Tuan Tama dan berhadapan dengan meja pribadinya. Dinding - dinding terhias indah oleh lukisan sketsa pesawat terbang kuno hingga modern. Menggambarkan kesukaan Tuan Tama pada aeroplane. Senada dengan jejer rapi ensiklopedi, majalah dan buku tentang dunia penerbangan. Semuanya tersusun apik di lemari kaca persis dibelakang meja kerja Tuan Tama.

Sesekali Amira juga mengusap debu-debu sebelum memulai aktivitasnya. Mulai dari kaca, meja hingga koleksi pribadi Tuan Tama. Akhir-akhir ini aktivitasnya tak sepadat biasanya. Itu karena catatan agenda yang biasa dicatatnya kosong. Hampir tak ada agenda acara yang bisa di-list. Jelas agenda itu mengikuti Tuannya. Tak ada perintah layaknya yang bisa dia catat. Sikapnya seolah biasa, tapi rautnya menyibakkan dua hal. Sedih dalam kelopaknya yang sayu. Dahi yang sesekali mengkerut, bila mengingat kematian Tuan Tama yang aneh.

ENCODEWhere stories live. Discover now