4th

52 7 0
                                    

Axel duduk di halaman belakang rumahnya, baru saja selesai bermain dengan ring dan bola basket miliknya. Tubuhnya dipenuhi dengan keringat, pakainnya sangat basah meski ia bermain sendiri tadi.

Axel jatuh cinta dengan basket. Ia sangat cinta dengan olahraga yang satu ini. Kata Eliza, basket itu sudah ada didalam darahnya, yang mengalir dibalik lapisan-lapisan kulitnya, lalu ikut masuk kedalam jantungnya. Dan Axel setuju dengan perkataan Eliza itu. Pokoknya, Axel cinta sekali dengan basket.

Di jam yang sama tapi di tempat yang berbeda, Eliza baru saja sampai didepan rumahnya, lalu begitu ia ingin membukakan pintu rumahnya itu dengan kunci yang baru saja ingin dimasukannya, ia menatap plastik berwarna merah tadi yang diberi Mikalea.

Ah! Gue lupa, batin Eliza sambil menepuk jidatnya.

Untung saja rumah Axel pas sekali ada disampingnya. Tidak perlu menghabiskan tenaganya hanya untuk mengantar makanan, tapi yang Eliza malas adalah BERTEMU dengan sosok Axel itu.

Eliza berjalan dengan langkah lunglai menuju rumah yang letaknya ada disamping rumahnya.

Eliza mengetuk rumah itu.

"Halo, Alexa!" sapa Eliza ramah begitu ia melihat adik Axel yang masih balita itu membukakan pintu rumah.

"ELIZA!" sapa Alexa lebih semangat.

"Ih kamu udah besar, ya. Buktinya kamu udah bisa buka pintu sendiri." puji Eliza sambil mengelus rambut Alexa pelan.

"Iya, aku udah lumayan tinggi loh." kata Alexa.

"Oh ya? Kok bisa?" tanya Eliza. Ia tahu bahwa pertanyaan yang barusan ia tanya sangatlah bodoh, tapi karena lawan bicara nya adalah anak kecil yang masih berusia empat tahun. Maka, Eliza masa bodo dengan hal itu.

"Koko Axel sering ajarin aku main basket!" jawab Alexa.

Mata Eliza membulat.

Cewek diajarin basket. Huh.

"Kok mau diajarin basket ama koko Axel?" tanya Eliza.

"Iya, koko Axel maksa aku biar aku main basket, katanya biar aku tinggi. Katanya, biar aku gak pendek kayak kak Eliza." jawab Alexa lugu dengan wajah sangat polos.

"Ihihih.. Kamu lucu banget sih kalo lagi ngomong! Mau aku cubit deh." ucap Eliza gemas. Gemas ingin mencubit pipi tembem milik Alexa itu sampai Alexa menangis karena Alexa tak tahu betapa kesalnya ia saat dikatakan 'pendek'.

"Oh ya. Axel mana?" tanya Eliza.

Alexa menunjuk kearah belakang rumahnya dengan telunjuk mungilnya.

"Dapur?".

"Gak. Di belakang dapur.".

"Halaman belakang?".

Alexa mengangguk.

Eliza berjalan menuju halaman belakang, melihat Axel sedang tiduran di rumput sambil memeluk bola basketnya.

"Xel." panggil Eliza.

Axel tersentak, lalu terbangun.

"Ngapain lo kesini?" tanya Axel sinis.

"Ini, ada titipan." jawab Eliza sambil menaruh plastik itu di paha Axel.

"Titipan dari siapa?".

"Tebak aja.".

"Males tebak.".

"Masa gak tahu.".

Axel menaikkan sebelah alisnya. "Elu? Elu yang beli ini?" tanyanya.

"Kagak! Bukan gue! Ya kali gue habisin duit gue cuman untuk beliin lu makanan." cibir Eliza.

Axel terkekeh pelan. "Jadi siapa dong?".

"Dari seseorang lah.".

"Rey?".

"Bukan.".

"Dilan?".

"Salah.".

"Siapa ih?".

"Dari cewek.".

Axel berdecak kesal. "Mikaela.".

"Yay! Jawaban anda benar sekali!" seru Eliza.

"Gak mau ah. Balikin itu makanannya ke Mikaela.".

Eliza menatap Axel dengan heran.

"Napa?".

"Gak mau aja.".

"Jahat lo! Itu dia beliin makanan itu dengan duitnya! Gak kayak gue! Gue itu pelit! Jadi hargai kerja keras dia!" kata Eliza sewot.

"Ya udah, deh. Awas, gih! Ganggu aja.".

"Jih. Ngusir lo.".

He's AxelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang