Ekskul basket sudah mulai dari satu jam yang lalu. Axel men-drible bola berwarna oranye itu dengan gaya dan berhasil men-shoot nya ke ring. Ia bisa menggunakan seluruh energinya untuk bermain olahraga yang sudah menjadi belahan jiwanya itu, basket.
Sesekali, coach menyuruhnya untuk beristirahat, tapi Axel menolak dan memilih untuk lanjut bermain. Ia tidak suka dan tidak mau duduk diam, lalu hanya menatap teman-temannya itu yang men-drible bola sampai masuk ke ring. Ia paling tidak tahan saat melihat bola oranye itu memantul-mantul, rasanya ingin ia ambil lalu bermain.
Tiga puluh menit berlalu. Jam ekskul selesai. Sudah waktunya pulang.
Axel menjatuhkan dirinya di tengah lapangan, ia bernapas dengan terengah-engah.
"Rey! Ambilin tas gue dong!" teriak Axel yang masih terbaring lemah ditengah lapangan.
"Ya!", lalu Rey melempar tas olahraga Axel dari pinggir lapangan. Axel menangkapnya, lalu mencari-cari sesuatu ditasnya. Mencari sesuatu yang sangat ia inginkan, dan yang sangat ia butuhkan.
Jangan bilang kalo mami lupa siapin air ditas gue, batin Axel.
"Nih.". Eliza sudah ada dihadapannya, sambil menyodorkan sekaleng minuman dingin yang baru ia beli dikantin.
Tangannya menggantung di udara selama beberapa saat karena Axel masih sibuk mengudek-udek tasnya.
"Axel!" sahut Eliza sambil menghentakkan kakinya kesal.
Axel mendongak, keberadaan Eliza membuatnya terperangah.
"Ngelamun aja terus!".
Axel tersenyum lebar. "Thanks.".
Lalu Axel mengambil minuman yang ada ditangan Eliza.
"Mikirin apa hayooo?" ledek Eliza iseng. "Pasti mikirin Mikaela." lanjutnya.
"Apa-apaan sih, lu. Gue gak mikirin apa-apa." jawab Axel. Ia menatap Eliza heran. "Ngapain disini? Gak pulang?".
"Kak Ezra sibuk kuliah. Jadi, lu yang anterin gue pulang, yah." kata Eliza sambil memasang puppyface nya.
"Apaan sih? Males banget anterin lu. Tadi pas di perpustakaan, bukannya bilang 'makasih', lu malah ninggalin gue begitu saja. Aku tuh gak bisa diginiin, mas." kata Axel lebay.
"Najong." jawab Eliza.
Axel membuka minuman kaleng itu, lalu meminumnya dengan cepat. Sekian detik kemudian, ia terbatuk-batuk sampai beberapa tetes air keluar dari mulutnya.
"Astaga, Xel. Minum tuh biasa aja, pelan-pelan aja. Nah elo, malah ditelen cepat-cepat gitu minumnya." kekeh Eliza.
Axel masih terbatuk-batuk, membuat wajahnya merah karena sakit. Eliza tertawa geli karena sedari tadi Axel masih batuk.
"Astaga." gumam Eliza karena Axel masih juga terbatuk-batuk.
Eliza pun menepuk-nepuk punggung Axel dengan keras. Kemudian, batuk Axel mereda.
"Sakit, anjir!" rutuk Axel kesal.
"Yah elu masih batuk-batuk gak jelas.".
"Gak usah mukul punggung gue sekeras itu!".
"Kalo enggak, ntar lo gak selesai acara batuknya.".
"Serah.".
Hening seketika.
"Yok pulang." ajak Eliza.
"Gak ah. Males anterin lu pulang. Dasar preman. Mukulnya pakai perasaan dong.".
"Yah ngambek.".
"Gak, gak ngambek kok.".
"Mikirin Mikaela, yaaa." celetuk Eliza sambil tersenyum jail.
"Dih. Mikaela siapa?".
"Gak usah sok gak kenal sama Mikalea gitu. Gebetan lo masa gak dikenal?".
"Sekali lagi sebut nama Mikaela, gue gak anterin lu pulang. Biar lo disini terus sampe esok pagi." kata Axel kesal.
"Astaga. Iya, iya. Maap, mas.".
---:-:-:---
"Mamaaa! Putri mu yang cantik ini, sudah pulaaang!" teriak Eliza begitu sudah menginjak lantai rumahnya.
"Hah? Mama emang punya putri? Mama cuman punya putra!" balas mama dari dapur dengan teriakannya yang tak kalah kencang.
Teriak-teriak seperti Tarzan, sudah menjadi sebuah kebiasaan dari keluarga ini. Mungkin, tetangga mereka berpikir bahwa keluarga ini lebih berasa seperti di hutan dari pada rumah.
"Oh gitu! Mama cuman sayang sama Ezra, gak sayang sama aku!" teriak Eliza lalu meletakkan tas sekolahnya diatas meja ruang tamu.
"Ah... Nyaman." kata Axel yang sudah mengenyakkan dirinya diatas sofa ruang tamu.
Seorang wanita berkepala empat sudah sampai di ruang tamu dengan celemek kotor yang dipakainya.
"Eh, ada Axel. Apa kabar, calon suami dari putri saya." sahut mama Eliza dengan ramah.
Eliza berdecih kesal. "Apaan? Dia bukan calon suami Liza, ah. Geli gue kalo jadi istrinya." kata Eliza.
"Heh! Jangan ngomong gitu sama calon mertua gue!" kata Axel kepada Eliza, yang disambut dengan tertawa geli oleh mama Eliza.
Eliza bergidik ngeri mendengarnya. Lalu ia menuju kamarnya.
Sesampainya dikamar, Eliza menguncinya. Menunggu sahabat cowoknya itu untuk pergi dari rumah dan pulang. Tapi, ia masih bisa mendengar suara Axel yang sedang berbicara sambil tertawa dengan mama nya.
Eliza sudah kenal Axel sejak mereka memasuki Sekolah Dasar. Orang tua nya sangat akrab dengan orang tua Axel. Tidak hanya kedekatan mereka dikarenakan oleh orang tua mereka, tapi mereka juga tetanggan. Ditambah, mereka satu sekolah terus, bahkan sampai sekarang. Dari SD, SMP, sampai sekarang, SMA. Membuat Eliza sangat muak dengan cowok yang selalu membuatnya kesal, kadang. Kadang, Axel juga lah yang membuat Eliza tertawa ngakak sampai wajahnya merah.
Idih, kok gue jadi mikirin Axel?, batin Eliza sambil memeluk bantalnya erat.
![](https://img.wattpad.com/cover/99247091-288-k752774.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Axel
Teen FictionEliza tidak tahu kenapa cowok berbadan kurus ceking dan jangkung itu selalu mengganggu dan membuatnya kesal. Selalu ada saja ledekan yang membuatnya benci kepada cowok itu. Cowok itu juga selalu berhasil membuatnya menahan seluruh emosi sampai di ti...