epilog

75 2 0
                                    

Setelah mandi, mencuci muka, dan memakai beberapa obat untuk membersihkan wajahnya, Eliza berjalan masuk ke kamarnya. Ia menepuk-nepuk kedua pipinya yang dingin. Saat Eliza hendak membaca majalah fashion kesukaannya, ponselnya bergetar menandakan ada telepon masuk. Tangannya pun terangsur untuk meletakkan majalahnya dan mengambil ponselnya. Ia melihat siapa yang meneleponnya malam-malam begini.

Axel, namanya tertera di sana. Dan entah kenapa, ada sesuatu membuat bibir Eliza secara otomatis tertarik ke masing-masing sisi hingga sebuah senyum terlukis di wajahnya.

"Liz?" ucap suara di seberang. "Kok belum tidur?".

"Well, belum. Karena mau baca magazine dan kebetulan terganggu oleh lu." cibir Eliza. "Ada apa nelepon malam-malam gini?".

"Coba lihat keluar jendela.".

"Hah? Jangan bilang lo lagi berdiri di balkon kamar gue?".

"In your wildest dream. Buruan, ih.".

Eliza beringsut turun dari kasur dan tangannya menyibak tirai ungu yang menutupi jendela kamarnya. Yang dilihatnya adalah pemandangan yang gelap namun dihiasi kerlap-kerlip kehidupan kota Jakarta di malam hari.

"Udah, Xel. Gue udah lihat jendela. Terus?".

"Ada bintang, gak?".

"Hmmm... Dikit, sih. Why?".

"Inget gak, sih? Pas pertama kali kita ketemu? Pas SD? Kelas satu? Yang waktu itu lu pernah nyium kening gue?".

Tanpa Axel ketahui, pipi Eliza bersemu merah. "Gak usah bahas masa lalu, deh. Itu kan kita masih kecil.".

"Inget gak kenapa lo nyium kening gue?" tanya Axel dengan nada lembut.

"Karena lu nangis, nangis karena bola basket lo jatuh ke selokan. Terus gue cium deh kening lu biar lu berhenti nangis. Tau-taunya lu beneran berhenti nangis." jawab Eliza.

Lewat sambungan telepon, Axel bisa merasakan bahwa Eliza sekarang sedang senyum mesem-mesem tidak jelas. "Pasti lagi senyum-senyum, ya?".

Mata Eliza terbelalak. "How come... Elo itu cenayang? Dukun? Atau...".

"Udah, shhh... Diem, ah.".

Eliza kemudian duduk bersandar ke kaca jendela kamarnya. "Terus ini lo ngapain suruh gue lihat langit, hah? Gak jelas banget, ih.".

"Cuman mau kasih tahu, kalo elo itu mirip bintang yang paling terang itu.".

Eliza berbalik dan melihat jendelanya. Ada satu bintang paling berkilau dan mengkilap diatas sana.

"Ngegombal, nih?" goda Eliza.

"Yeh, respon elo gak seru, ah." cibir Axel.

Eliza tertawa geli.

Jeda. Axel menghembuskan napas berat. "Liz, foto lu boleh gue simpen?".

Eliza mengernyitkan dahinya kebingungan. "Untuk apa? Bukannya di HP lo Gallery-nya emang penuh sama foto gue?" kekehnya.

"Fotonya mau gue kirim ke NASA.".

"Loh? Untuk apa?".

"Biar NASA tahu bahwa ada yang lebih indah daripada bintang.".

Sial!!! Eliza menggigit bibir bawahnya dengan keras untuk menahan rasa malu. Walau Axel tidak berada disampingnya untuk melihat reaksinya, namun Eliza tetap ingin menahan rasa malunya. Eliza mencubit lengannya untuk mengecek apakah ini mimpi atau bukan.

Aw!

Bukan. Ah, sejak kapan Axel bisa seromantis ini? Yah, walaupun hanya sederhana, namun cukup membuat hati Eliza berbunga-bunga dan penuh dengan kupu-kupu yang berterbangan bahagia.

"Ngegombal nya bikin gue kalap, ah." ucap Eliza malu.

Terdengar lewat sambungan telepon bahwa Axel langsung membalas ucapan Eliza dengan gelak tawa.

"Cieee, aku lucu, ya?" goda Axel.

"Gak! Udah, ah. Teleponnya kelamaan, ntar pulsa habis. Kan, operator kita beda." kata Eliza.

"Yeeeh, nih anak malah mikirin pulsa." cibir Axel.

"Ya udah. Besok lo ke kampus? Atau latihan basket?" tanya Eliza mengganti topik.

"Yah, ke kampus dulu, deh. Mau kejar materi yang ketinggalan." jawab Axel.

"Terus? Gak ngebasket? Kan, cita-cita lo mau jadi pemain NBA? You always wanted to be a professional basketball player. Yah, walau pendidikan itu nomor satu, tapi gue tahu lu tuh suka banget sama basket." celoteh Eliza.

"Sejak ada lu, cita-cita gue jadi pengen membahagiakan lu." goda Axel.

Eliza mendengus. "Bisa serius gak...".

"I love you.".

Eliza menyentuh dadanya yang sedang bergemuruh hebat. Berharap jantungnya dapat berdetak dengan batas normal.

"Please, say something." lirih Axel.

Eliza tersenyum. "I love you too.".

Suhu udara malam hari di Ibukota selalu terasa dingin. Dan Eliza baru sadar sekarang, Axel adalah pemanas yang sempurna. Lelaki yang dibutuhkan Eliza adalah Axel. Lelaki itu adalah Axel.

 Lelaki itu adalah Axel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

He's Axel.

He's AxelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang