BAB 10

147 32 11
                                    

P l u t o Z ∅ n e

Sepulang sekolah tadi, Dito segera pergi ke rumah sakit. Dirinya benar-benar kacau hari ini. Kejadian di kantin terus saja berkelana di otaknya. Membuat amarah membuncah dalam diri cowok itu.

Seharusnya, dia bisa melawan. Bukan malah pergi begitu saja. Nyatanya orang itu juga tidak sepeduli itu kan? Buat apa menyimpan ini rapat-rapat?

Dito harus bersyukur karena adanya gadis itu mampu mereda emosinya. Ia sangat kalut. Takut akan segala kemungkinan yang pasti terjadi.

Berada di zona ini membuat Dito tidak nyaman. Sama sekali tidak.

Ia mendongak, memandang seorang gadis mungil yang terbaring tak jauh dari tempatnya duduk. Rasa khawatir semakin mendominasi.

Bagaimana tidak? Seseorang terpenting di dalam hidupnya sedang berjuang sendirian antara hidup dan mati. Bahkan, disaat seperti ini tidak ada orang tua yang menemani. Persetan dengan Ayahnya yang terlalu sibuk untuk peduli. Terlalu dibutakan dengan uang dan berujung pada anak-anaknya yang terlantar.

Mungkin benci adalah kata yang pas untuk menggambarkan perasaan Dito kepada sang Ayah. Atau mantan Ayah? Apapun itu, Dito mencoba untuk tidak peduli.

Dito mengusap wajahnya gusar. Pendingin ruangan seolah tak membantu keringat yang muncul di dahinya.

Dari sekian banyak manusia, kenapa harus gadis itu yang ikut terseret dalam zona ini?

Dan kenapa juga Dito peduli?

Ah, mereka kan bukan teman dekat.

Shit.

Dito ingin menghajar cowok itu rasanya.

P l u t o Z ∅ n e

Hari sudah gelap saat Vio tiba di rumah. Setelah motor Ghana melaju pergi meninggalakan pelataran rumahnya, Vio segera masuk ke dalam.

Baru saja ia memutar knop pintu, sang mama sudah berdiri menghadang dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

Mampus.

"Eh mama..." Vio nyengir salah tingkah. Sang mama hanya mendelik ke arahnya.

"Bagus ya asal nyelonong gak ngucap salam, besok-besok gak usah pulang aja sekalian."

"Maaf mah...tadi neduh dulu, kan hujan hehe," jawab Vio sambil cengengesan. Bisa-bisanya Vio melupakan fakta bahwa mamanya sangat protektif soal waktu. Telat sedikit bisa kena omel. Seperti sekarang ini.

"Hm, alesan aja kamu. Udah sana mandi. Bantu mama cuci piring terus kita makan malam sama-sama."

Vio bernafas lega saat mamanya berjalan ke dapur meninggalkannya. Tanpa diperintah, Vio segera menaiki anak tangga dan berlari kecil menuju kamarnya untuk segera mandi dan kembali turun untuk melaksanakan apa yang dipinta oleh sang mama tercinta tadi.

***

Vio baru saja menyelesaikan kegiatan cuci piringnya saat sang mama kembali menyuruh untuk membuang plastik sampah dapur ke bak sampah di depan rumahnya. Ini pasti hukuman akibat dirinya yang pulang telat tadi. Tanpa protes, Vio segera melangkahkan kakinya dengan berat menuju halaman depan, dengan plastik penuh sampah di tangan. Vio bergidik jijik saat mencium aroma tak sedap dari plastik itu.

Gadis itu menepuk-nepukkan kedua tangannya setelah selesai memasukkan sekantung penuh sampah itu kedalam tempat yang semestinya.

Baru saja dirinya hendak berbalik untuk mengunci pagar, sebuah suara motor yang berhenti tak jauh di depan rumahnya menginterupsi gerakan cewek itu. Membuat Vio mendongak dan menghentikan aktivitasnya sejenak.

Pluto ZoneWhere stories live. Discover now