P l u t o Z ∅ n e
Sudah dua puluh menit berlalu. Namun gadis itu masih saja berdiam diri di kamar dengan rasa gelisah yang entah kapan akan pergi.
Setelah mandi dan membuatkan teh hangat untuk sang mama, gadis dengan balutan piyama kebesaran bermotif polkadot itu segera mengunci pintu kamarnya rapat-rapat.
Alhasil, dirinya hanya mondar-mandir tidak jelas, berusaha mendapatkan cara yang tepat untuk apa yang telah terjadi.
Entah sudah yang keberapa kali ia mengintip dari balik jendela kamarnya untuk melihat keadaan sebuah rumah yang terletak persis berada di depan sana.
Sepi.
Hanya itu yang tertangkap dalam penglihatan Vio yang kini kembali mengintip untuk kesekian kalinya.
Vio masih menimbang-nimbang, haruskah ia datang ke rumah itu lalu menuturkan permohonan maaf atas sikapnya yang kelewat acuh?
Tapi, ini bukan sepenuhnya kesalahannya kan? Toh, jika memang cowok yang ternyata tentangganya itu berniat memberitahu, kenapa tidak dari awal saja?
Lagipula, dari sekian banyak orang, kenapa harus Vio sih yang berurusan dengan cowok itu? Kenapa bukan Naya atau teman di kelas mereka yang lain?
Bahkan, Vio hanya mengenal Vhira sekilas saja. Sebatas adik kelas dan teman rumah. Tidak ada ikatan lain yang menyatakan bahwa mereka adalah dua orang bersahabat karena telah bertetangga selama bertahun-tahun dan kebetulan belajar di sekolah yang sama. Tidak sama sekali.
Vhira terlalu pendiam dan Vio terlalu malas untuk bertingkah sok ramah. Iya, Vio memang seacuh itu dan dia mengakuinya.
Selama bertahun-tahun bertetangga, Vio baru mengetahui ternyata Vhira adalah adik kandung Dito. Kali ini, Vio sama sekali tidak menyalahkan dirinya soal ketidaktahuannya itu, karena Dito memang tidak tinggal disana dan ia juga tidak pernah berkunjung sama sekali. Di sekolah juga mereka tidak terlihat dekat. Mungkin karena Vhira yang sangat bertolak belakang dengan Dito yang merupakan tipikal cowok famous di sekolah mereka.
Vio kembali melangkahkan kaki menuju tepi tempat tidurnya, lalu meringkuk diatasnya. Ia melirik jam yang bertengger di dinding kamar berwarna pink pastel itu. Hampir pukul 08.00 malam. Tapi kakinya seakan malas turun ke lantai bawah untuk sekedar makan malam. Rasa nafsu makannya seakan hilang digantikan kegelisahan sekaligus rasa bersalah.
Andai saat itu Vio lebih penasaran soal absennya Dito ke sekolah. Andai, Vio tidak meminta pulang saat di rumah sakit. Mungkin keadaannya tidak akan begini. Bahkan untuk sekedar meminta maaf, Vio masih memikirkan rasa gengsinya.
Akhirnya, setelah bergulat dengan pikirannya, Vio memilih untuk menunda bersitatap muka dengan cowok itu.
Dan semoga pilihannya ini tidak salah lagi.
Semoga.
Vio memandang langit-langit kamarnya. Besok hari sabtu. Sungguh Vio merasa bosan setengah mati malam ini. Ia melirik ponselnya yang sedari tadi tergeletak di nakas. Gadis itu bergeser dari posisi tidurnya untuk mengambil benda pipih itu kemudian menekan tombol yang berada di sisi atas ponselnya.
Layar yang sebelumnya hitam, kini mulai menampakan foto Shawn Mendes di lockscreennya. Untuk beberapa saat handphone yang berada di genggaman Vio mulai berdenting oleh banyaknya notifikasi yang masuk setelah beberapa jam lalu benda itu sengaja tidak diaktifkan.
Vio membuka salah satu aplikasi chat-nya. Dan benar saja, ratusan pesan memenuhi aplikasi itu. Mayoritas dari broadcast fandom dan online shop tentunya. Sisanya hanya beberapa dari group atau teman-temannya.

YOU ARE READING
Pluto Zone
Novela Juvenil[REVISI SETELAH TAMAT] ••• Anindhia Violetta, hampir setiap hari berurusan dengan Fadito Raharja. Kedekatan yang terjalin hanya sebagai topeng kekesalannya pada cowok itu. Vio yang acuh, Dito yang nyebelin. Ini bukan hanya menjadi kisah mereka saat...