P l u t o Z o n e
Tidak seperti hari Sabtu sebelumnya, gadis dengan balutan sweatshirt longgar itu sudah rapih pada jam tujuh pagi seperti ini. Biasanya sehabis sholat subuh ia akan melanjutkan ritual tidurnya hingga menjelang jam sepuluh atau bahkan lebih.
Setelah menyiapkan teh hangat untuk sang mama, Vio buru-buru berpamitan ke rumah Dito yang berada persis di depan rumahnya. Hanya perlu menyebrang jalan komplek saja untuk ke sana.
Niatnya, Vio akan membawakan sarapan untuk lelaki itu. Namun, baru saja ia membuka pintu tiba-tiba sesosok lelaki jangkung sudah berdiri di depan pintu rumahnya dengan rambut yang sengaja dibiarkan acak-acakan. Lelaki itu tersenyum kecil pada Vio. Ia melirik kotak pink yang berada dalam genggaman gadis di hadapannya.
"Apaan tuh? So sweet banget sih pagi-pagi mau nganter sarapan," kata Dito sambil merebut kotak tersebut lalu masuk ke dalam rumah tanpa dipersilahkan.
Vio menghela napas. Dalam hati ia berusaha menyabarkan diri agar tidak tersulut emosi akibat tingkah menyebalkan Dito.
"Mama lo mana?" tanya Dito setelah duduk di sofa dengan roti bakar di tangan.
Vio ikut duduk di hadapan cowok itu. "Ada tuh di dapur."
"Ohh. Mama lo tau?"
Vio menggaruk tengkuknya. Ia bingung karena nyatanya ia lupa memberi tahu mamanya soal Vhira yang hari ini akan melangsungkan operasi terakhir.
Menyadari perubahan raut muka Vio, Dito kembali berujar dengan tenang. "Gak apa-apa gak usah dikasih tau. Mama lo deket sama nyokap gue. Gue gak mau dia dateng lagi ke sini."
"Kenapa?" Vio tahu itu pertanyaan bodoh.
"Gue butuh waktu buat nerima semuanya."
"Gue emang belom pernah ada di posisi lo. Tapi gue bisa bayangin rasanya, Dit. Semua tergantung lo. Hati lo belom mau berdamai sama semuanya. Inget Vhira. Apa dia bakal seneng saat bangun nanti keluarganya gak utuh? Vhira need her although she has already gone, Dit. Jangan egois karna bukan lo doang yang disakitin di sini."
Vio menatap Dito tepat di manik mata. Entah ada kekuatan dari mana hingga kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Kalo dia sayang Vhira dia gak akan pergi. Sesimpel itu, Ta. Setelah semua rusak apa bisa dengan gampangnya dia balik lagi? Itu kemauan mereka sendiri. Gak ada alesan lagi buat nampakin diri dan berlagak sok sedih. They're fake and i hate this fact too much."
"Sesakit apa pun dampaknya mungkin emang ini yang terbaik. Gak ada orang tua yang benci sama darah dagingnya sendiri, Dit."
"Bantu gue buat nembus kesalahan gue sama Vhira selama ini, Ta. Gue mau pas dia buka mata, gue orang pertama yang dia liat. Bukan nyokap atau pun yang lain. Bisa?"
Mau tak mau Vio mengangguk. Ia meraih tangan Dito dan menggenggamnya. "Semua tergantung lo. Lo harus belajar ikhlasin semuanya karna cuma itu satu-satu jalan supaya gak ada rasa benci lagi. Gue bakal bantu lo, Dit." Vio melepas genggaman tangannya. Dito tersenyum tipis dan mengangguk. "Gue coba, Ta. Makasih."
"Iya iya sama-sama. Santai aja ah kayak sama siapa aja lo."
Dito tertawa. "Emang sama siapa?"
"Siapa ya. Temen mungkin?"
"Yah. Gue kira pacar." Dito pura-pura cemberut.
Vio memutar bola matanya. "Mupeng lo. Ayok berangkat kapan?"
Dito melirik jam tangan yang dikenakannya lalu berdiri. "Eh iya. Ayo sekarang."
Vio pun ikut berdiri dan mengekori cowok itu.

YOU ARE READING
Pluto Zone
Roman pour Adolescents[REVISI SETELAH TAMAT] ••• Anindhia Violetta, hampir setiap hari berurusan dengan Fadito Raharja. Kedekatan yang terjalin hanya sebagai topeng kekesalannya pada cowok itu. Vio yang acuh, Dito yang nyebelin. Ini bukan hanya menjadi kisah mereka saat...