BAB 23

68 8 2
                                    

P l u t o Z o n e

Dengan balutan kemaja flanel berwarna marun, lelaki itu mengendarai motornya menuju salah satu komplek perumahan elit di daerah Bogor. Ia mulai memelankan laju motornya begitu sampai di tempat tujuan.

Lelaki itu merogoh saku celananya dan mengambil ponsel dari dalam sana. Setelah mengotak-atik sebentar, ia buru-buru menempelkan benda pipih itu pada telinga kirinya.

Sampai akhirnya suara operator yang terdengar.

Ia mendesah kecewa dan berinisiatif turun dari motor untuk memencet bel yang terpasang di pagar besi yang berada tak jauh dari tempatnya memarkirkan motor.

Sekali.

Dua kali.

Tak ada jawaban.

Ia melirik alrojinya. Padahal ia datang tepat jam sebelas siang, sesuai seperti apa yang mereka janjikan kemarin. Tidak kurang dan tidak lebih sedikit pun.

Sekali lagi ia menekan tombol di ponselnya. Berkali-kali. Tapi nihil, tetap saja tak ada jawaban.

Ia mendesah kecewa. Rencananya gagal sudah.

Sampai akhirnya ponselnya berkedip. Ia refleks menggeser layar benda di tangannya itu dengan sekali gerakan dan langsung menempelkannya di telinga.

"Vio, gue di depan rumah lo. Lo gak lupa 'kan?" Ucap lelaki itu semangat begitu telpon tersambung.

Hening. Seseorang di sebrang sana tak kunjung menyahut membuat lelaki itu heran. Ia pun menarik ponselnya dan melihat nama sang penelepon.

Ia mengumpat pelan. "Halo, Rai? Sorry, kirain temen gue."

Terdengar suara dehaman di sebrang sana. "Is she your friend? Violetta, isn't it?" Sang penelepon tertawa. "Gue bukan mau bahas dia. Ini lebih penting. Lo mau tau, Ghan?"

"Gak usah nanya."

"Vhira siuman dan gue harap lo gak lupa sama perjanjian kita."

Tuut...tuut

Sambungan terputus. Ghana menyandarkan tubuhnya di sisi tembok rumah Vio dengan raut tak terbaca.

Saudara kembarnya itu memang sulit sekali berubah, membuat Ghana menyesali semuanya.

Nyatanya, Ghana tidak punya apa-apa untuk melawan.

P l u t o Z o n e

Setibanya di rumah sakit, Ghana tidak langsung menemui Vhira. Ia justru duduk di bangku beton yang berada di sayap kiri rumah sakit. Tepat bersebelahan dengan kantin kecil di depan sana.

"Vio ada sama lo?"

"Bukan urusan lo."

Ghana menarik napas pelan. "Kita perlu bicarain ini baik-baik. Gue bakal jelasin semuanya. Lo gak bisa terus-terusan nyalahin gue, Dit."

"Ogah."

"Please, gue mohon."

"Gue gak peduli asal lo tau."

Dan sambungan telepon pun diputuskan sepihak oleh Dito. Lagi-lagi Ghana menghela napasnya. Andai saja malam itu ia tau bahwa semuanya hanyalah skenario Raihan–saudara kembarnya–, sudah pasti ia tidak akan pernah mengajak Vhira ke tempat terlarang itu. Sungguh, Ghana sangat menyesali semuanya.

Sekarang, Dito malah mengira Ghana lah yang mabuk dan hampir memperkosa Vhira hingga akhirnya gadis itu nyaris merenggut nyawa akibat kecelakaan yang ia alami tepat di depan mata Ghana sendiri.

Ghana menjambak rambutnya frustasi. "Sampe kapan pun gue bakal nagih pertanggung jawaban lo, Rai."

P l u t o Z o n e

Ghana memasuki ruangan tempat Vhira dirawat dengan gontai. Ia tersenyum tipis saat matanya menangkap figur seorang gadis yang kini menatapnya datar.

Rasanya, ia ingin menghambur dalam pelukan gadis itu. Entah, sudah sedalam apa rindu yang ia kubur selama ini.

"Mas Ghana, Mbok mau ke rumah dulu ya ngambil pakaian buat Mbak Vhira," pamit Bi Minah begitu Ghana selesai mencium punggung tangan wanita paruh baya yang sudah lama ia kenali itu.

Ghana tersenyum ramah. "Iya, hati-hati ya, Mbok."

Setelah sosok Bi Minah hilang di balik pintu, Ghana lantas duduk di sisi ranjang Vhira dan menatapnya lembut.

"Hai, apa kabar?"

Tak ada jawaban. Ghana menarik napas. "Kamu udah makan? Mau aku suapin?" Ghana mengambil nampan yang berisi bubur berserta sayur lainnya.

Ia menyendokkan sesuap bubur pada Vhira. Gadis itu menggeleng pelan.

"Oh, kenyang ya. Yaudah." Ghana kembali meletakkan nampan tersebut ke atas nakas di sampingnya.

"Kamu pucet banget. Masih sakit nggak?"

Lagi-lagi Vhira tak menjawab. Ia justru membuang wajahnya ke sembarang arah.

"Aku kangen banget sama kamu, Vhir." Ghana menundukkan kepalanya di sisi tangan Vhira yang masih tergolek lemas dengan selang infus yang masih menempel di sana. "Aku hampir kehilangan harapan asal kamu tau. Kalo aku gak inget seberapa susahnya dapetin kamu waktu itu, mungkin aku bakal nyerah. Semuanya gak mudah." Ghana menarik napas. "Kamu pasti benci aku banget 'kan?"

Vhira menahan napasnya. Jantungnya berdetak tak karuan seiring kalimat yang Ghana lontarkan. Hatinya tidak sebeku itu, ia juga rindu.

Sesak seolah memenuhi rongga dadanya. Sekuat tenaga ia menahan agar air di pelupuk matanya tidak jatuh begitu saja.

"Mungkin minta maaf gak cukup untuk balikin semuanya. Tapi, kamu harus tau aku bener-bener nyesel, Vhir. Aku gak bisa kehilangan kamu."

Ghana mengangkat kepalanya dan menatap tepat ke manik mata Vhira yang kini juga menatapnya sendu.

"Kamu mau tau? Raihan masih ngincer kamu, Vhir. Bahkan setelah bebas dari penjara dia berani ngancem aku. Dia ngejebak aku di kelab waktu itu. Dan cowok yang hampir nyium kamu itu orang suruhan dia. Raihan udah gak waras, Vhir. Dia benci aku dan gak akan segan ngerusak semua yang aku sayang. Termasuk kamu."

Bahu Vhira seketika melepas. Ia butuh pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Tanpa sadar, air mata yang sedari tadi ia tahan sudah luruh menjatuhi pipinya. Hingga tangisnya tak tertahankan.

"Ghan, maaf."

Ghana membawa Vhira dalam pelukannya. Ia mendekap gadis mungil itu sambil sesekali mengusap punggungnya. Vhira sudah menangis sesenggukkan tanpa melepas pelukan yang kian lama semakin erat itu.

Pelukan itu seakan saling menguatkan keduanya.

Mereka sama-sama rapuh dan seorang pun tak akan tahu itu.

P l u t o Z o n e






Gue tau ini gak ngefeel. Tapi yaudahlah ya gue mager ngedit lagi. Maafkan kalo ada typo dan kalimat yang rancuu💋💋💋













Pluto ZoneWhere stories live. Discover now