Ziva berjalan menyusuri koridor sekolah yang sudah sepi, ia yakin jika bel tanda berakhirnya istirahat telah berbunyi. Tapi kapan? Ziva tidak mendengarnya.
Air mata yang ditahannya sedari tadi pun kembali turun, membasahi pipi pucatnya. Buru-buru ia menyekanya, tak mau ada orang yang tahu jika dirinya tengah bersedih saat ini.
"Lebih baik gue pulang! Bodo amat sama yang namanya hukuman," ujar gadis itu dengan wajah yang hampir mirip dengan pinokio.
Ziva kembali melanjutkan langkahnya. Ia pergi beranjak menuju halaman belakang sekolah yang sering dihuni oleh para murid-murid kesepian.
Setibanya disana, gadis itu langsung mendudukkan bokongnya di salah satu bangku yang mulai menua.
Ia memejamkan matanya sebentar, berusaha untuk mencari ketenangan yang sudah lama tak ia rasakan.
Ia menghembuskan napas berat, lalu berkata, "Gue harap semuanya baik-baik aja."
Ziva melirik sekelilingnya, seperti mencari-cari sesuatu.
"Nah, itu dia," ucap gadis itu dengan tenang ketika ia menemukan sebuah tangga kayu yang hampir lapuk di pojok halaman belakang sekolah.
Tanpa berlama-lama gadis itu langsung mengambil tangga itu dan meletakkannya di dekat tembok pembatas. Dengan penuh keberanian, Ziva mulai menaiki anak-anak tangga, berharap agar ia dapat menjalankan aksinya dengan mulus, tanpa ada gangguan dari pihak manapun.
Sampai akhirnya,
"Aww!!"
Gadis itu berhasil turun dari atas tembok dengan keadaan yang baik-baik saja.
Ternyata, Ziva memiliki keahlian juga. Tembok setinggi dua meter berhasil ia taklukkan hanya dengan bermodalkan keberanian.
Mungkin ini yang dinamakan dengan the power of kepepet ...
"TAXI!!!"
Ziva berteriak kencang ketika melihat sebuah taxi blue bird tengah melintas di hadapannya dengan laju yang sedang.
Buru-buru gadis itu masuk ke dalam taxi, berharap agar tidak ada seorang pun yang melihat keberadaannya.
"Mau kemana nak?" tanya sang pengemudi ketika Ziva sudah duduk tenang di bangku penumpang.
"Perumahan sakura pak," jawab gadis itu tak bertenaga.
Taxi yang dinaikinya pun akhirnya melaju, membawa dirinya pulang ke rumah.
Jika boleh jujur, sebenarnya Ziva tidak mau melakukan hal bodoh seperti ini. Ia tahu jika itu hanya merugikan dirinya saja. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tidak memiliki keberanian untuk memamerkan mukanya di depan teman-temannya. Ia sangat malu.
Ziva menghembuskan napasnya kasar. Ia menatap kosong ke arah jalanan ramai dengan pikiran yang melayang entah kemana.
Meskipun air matanya sudah mengering, tapi luka dihatinya masih membekas, seperti tertancap duri yang tajam.Ucapan Derviano terus mengiang-ngiang di dalam kepalanya.
"Lo berharap di cium?"
"Jangan bilang lo baper karena tadi pagi gue nolongin lo? Iya kan?"
"Haha, asal lo tahu, GUE.JIJIK.SAMA.LO!"
"Jadi cewek nggak usah terlalu murahan, kalau mau jual diri sama om-om aja, gue gak ada duit buat bayar lo!"
"Gue tanya, emang om-om mau bayar lo? Cih, asal lo tau ya, gak ada satu hal pun yang menarik dari tubuh lo!"
"Lo salah besar karena suka sama gue. Lo itu ibarat pecundang! Dan lo gak akan bisa ngeraih gue dengan tangan kotor lo!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Heart
Fiksi Remaja[SLOW UPDATE] Jika mencintaimu harus sesakit ini, aku ingin berhenti bernafas saja. Tapi apa kamu tidak merasa sakit jika harus kehilanganku? Cih, aku bermimpi terlalu tinggi.