Ziva POV
Inilah akhirnya. Aku mengakhiri jejak yang baru kutapaki. Bukan salahmu. Ini semua hanya karena aku yang tak mampu menyemai benih rindu di ladangmu.
Aku ingin lari dari kenyataan. Mencoba rehat sejenak dari semua beban berat yang terus menghimpit hari-hariku. Aku memilih untuk pergi karena tak mau menyakitimu. Aku memilih untuk mencintai satu nama meski hanya semu.
Sungguh, aku benar-benar lelah. Apa tidak ada lagi manusia yang berbaik hati terhadap diriku? Oh ayolah! Aku hanya ingin bercerita tentang hidupku yang menyedihkan. Hidup yang tak pernah terpikirkan olehku. Semua orang pergi menjauh dan meninggalkan aku sendirian bersama sepi. Aku ingin bertanya kepada sang pencipta. Kapan aku benar-benar pergi dari kehidupan mereka? Pergi, tapi bukan tuk kembali, namun pergi untuk selamanya.
*****
"Maaf, gue telat ..."
Suara berat itu mampu membuyarkan lamunan gadis yang tengah duduk termenung sembari menatap kosong ke jendela kaca yang ada disampingnya. Ia mengalihkan pandangannya untuk menatap pemuda yang telah mengejutkannya dengan tatapan sinis.
"Lo udah buat gue nunggu terlalu lama," ucap Ziva sembari melipat tangannya di depan dada. Ia mengerucutkan bibirnya, membuat siapa saja ingin mencubit pipi gadis itu dengan gemas.
"Gue baru baca pesan lo," jawab Andre dengan tampang tak berdosanya. Ia mendudukkan pantatnya di bangku yang ada di hadapan Ziva, lalu mengeluarkan handphone-nya untuk menghubungi seseorang.
Ziva berdecak kesal, lalu memutar bola matanya malas. Apa ia sedang dipermainkan oleh kakaknya sendiri?
"Aish! gue marah sama lo!"
Ziva menyeruput Moccha latte nya, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Andai saja Andre bukan kakaknya, pasti ia sudah mencabik-cabik wajah lelaki itu sampai tak berbentuk lagi."Hallo ..."
"..."
"Aku akan datang terlambat."
"..."
"Oke, see you."
Andre memutuskan sambungan teleponnya, lalu mengalihkan pandangannya untuk menatap Ziva.
"Lo nyuruh gue kesini cuma untuk ngeliati lo doang? Buang-buang waktu aja!"
Ziva mendengus.
"Seharusnya lo minta maaf sama gue."
Andre tertawa pelan, memamerkan deretan giginya yang putih. Ziva memang tidak pernah berubah. Selalu bertingkah seperti gadis belia.
"Gak akan!" jawab Andre sembari menjulurkan lidahnya keluar. "Oh iya, kenapa semalam lo ngambek sama gue? Emang gue punya salah ya sama lo?"
Ziva mendadak diam.
Gak ada kak.
"Ada lah! Lo pulang kemaleman! Gue kesepian di rumah!" jawab Ziva berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan semua masalahnya kepada Andre. Ziva tidak mau membuat kakaknya itu terlalu khawatir.
Wajah Andre memelas.
"Maafin gue ya, adik sayang ..."
"Sok ganteng," bisik Ziva merasa jengkel. Ia memicingkan matanya, lalu berdecak kesal.
"Gue denger bego ..."
Ziva sontak menutup mulutnya dengan kedua tangannya, kemudian tersenyum kecil. "Upss, ketauan," katanya lalu tertawa kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Heart
Teen Fiction[SLOW UPDATE] Jika mencintaimu harus sesakit ini, aku ingin berhenti bernafas saja. Tapi apa kamu tidak merasa sakit jika harus kehilanganku? Cih, aku bermimpi terlalu tinggi.