TIGA PULUH

1.6K 53 2
                                        

Ziva membuka pintu kamarnya dengan wajah yang sumringah. Senyuman manis yang menghiasi wajahnya pun tak mau menghilang sedaritadi.

Entah mengapa, Ziva merasa sangat beruntung hari ini. Kebahagiaan yang selama ini sudah jarang didapatkannya seketika hadir mewarnai hari-hari sepinya.

Ziva tersenyum, lagi. Ia mengelus rambutnya perlahan-lahan sembari membayangkan sebuah kejadian yang sedari dulu sudah ia impi-impikan. Gadis itu tertawa. Dilepaskannya penjepit jemuran yang selama ini selalu digunakannya untuk mengeringkan pakaian dari atas kepalanya.

"Kenapa barang sekecil ini bisa buat gue jatuh cinta lagi?" ucap Ziva sembari berjalan ke atas tempat tidurnya, "Gue pikir perasaan gue ke elo itu udah hilang sepenuhnya. Tapi gue salah," Ziva menghembuskan napasnya kasar.

"Perasaan itu masih ada sampai sekarang, hanya saja gue terlalu malu untuk mengakuinya," Ziva tertawa pelan. Disandarkannya badannya pada sandaran tempat tidurnya dengan tangan yang masih sibuk memegangi penjepit jemuran.

"Tapi tunggu ..." spontan gadis itu langsung duduk tegap dengan mata yang menyorot tajam ke depan. "Kenapa gue harus malu? Bukannya selama ini gue udah dicap sebagai gadis yang gak tau malu?"

Ziva tertawa bangga, "Manaada gadis di sekolahan gue yang rela menjatuhkan harga dirinya demi mendapatkan cinta dari seorang pria yang begitu bodoh!" ucap Ziva dengan bibir yang tersungging, "Gue memang ajaib!"

Ziva membanting tubuhnya ke atas kasur yang empuk sembari mengguling-gulingkan badannya dengan gelisah, "Kira-kira Derviano lagi apa ya sekarang?" tanya Ziva pada dirinya sendiri. Ini aneh. Ziva merasa sangat rindu pada Derviano. Padahal baru beberapa jam yang lalu pria itu pergi meninggalkan rumah Ziva.

"Apa gue telepon aja kalik ya?" Gadis itu menggigit bibirnya pelan, "Tapi gue gak berani. Gimana kalau dia mendadak ilfeel sama gue? Kan bahaya! Mau sampai kapan cinta gue bertepuk sebelah tangan mulu?"

Ziva mendecis pelan. Ia mengurungkan niatnya untuk menghubungi pria itu dan berencana untuk segera tidur. Walau bagaimanapun hari sudah semakin larut, dan besok pagi Ziva harus bangun pagi untuk berangkat ke sekolah.

Namun, saat Ziva ingin memejamkan mata, suara getaran handphone dari atas meja belajarnya berdering begitu kencang. Ziva tersentak kaget. Spontan ia langsung mengangkat tubuhnya untuk menerima panggilan telepon dari sebuah nomor yang diberi nama 'Capar.'

Ziva tersenyum kaku. Dengan jantung yang bergetar hebat akhirnya gadis itu berani untuk mengangkat panggilan dari nomor tersebut.

"Hallo ..." sapa seseorang di seberang sana.

Ziva diam. Ia tak tau harus berbicara apa. Rasanya semua kata-kata yang telah terangkai di dalam otaknya langsung menghilang begitu saja digantikan dengan rasa gugup yang begitu luar biasa.

"Kamu udah tidur ya, Ziv?" sambung orang itu lagi, "Aku cuma mau ngasitau kalau aku udah sampai."

Ziva masih diam.

"Yaudah deh kalau kamu udah tidur. Aku tutup teleponnya ya? Sela --"

"Tunggu!" potong Ziva cepat tak ingin menyudahi pembicaraan mereka, "Tadi gue dipanggil sama bang Andre, jadi gue gak fokus dengerin lo ngomong. Oh iya, tadi lo mau bicara apaan Der?" tanya Ziva berbohong.

Gadis itu memang sungguh luar biasa. Ia sangat jago merubah keadaan seolah-olah tidak mendengarkan semua perkataan Derviano. Padahal kenyataannya ia sangat gugup. Ia tidak mampu mengontrol degupan jantungnya yang bergetar tak karuan. Oleh sebab itulah Ziva mencari alasan yang sebenarnya cukup masuk akal untuk dicerna.

Behind The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang