DUA PULUH SATU

1.5K 73 17
                                    

Akhirnya, disinilah Ziva berada, di sebuah lapangan sekolah yang memiliki luas hampir seribu lima ratus meter kuadrat.

Ia sangat kesal karena bel istirahat tak kunjung berbunyi. Padahal ia sudah sangat lelah untuk terus berdiri di bawah panasnya matahari.

Ziva terus menundukkan kepalanya karena matanya jadi begitu perih saat silaunya matahari menusuk ke dalam retinanya. Dia mengehela napas, merasa begitu bosan.

Diliriknya arloji hitam yang melingkar indah di pergelangan tangannya, 'ah sial!' batinnya mengumpat. Jarum jam tersebut hanya berputar selama dua puluh menit saja, tapi mengapa Ziva sudah merasa sangat lelah? Ck! Dihentak-hentakkannya kakinya dengan kesal, berharap agar guru psikopat itu mau mengasihani dirinya.

Ia mengangkat kepalanya, lalu mendengus kesal.

"DASAR GURU GAK PUNYA HATI!"

"BISANYA CUMA MARAH-MARAH DOANG!!"

"PAKAI ACARA DIHUKUM-HUKUM SEGALA LAGI!!"

"DIA KIRA GUE INI KERAK NASI APA?!!"

"GUE SUMPAHIN TUH GURU BAKALAN BERANAK LAGI!!"

"TERUS ANAKNYA MIRIP KAYAK MIMI PERI!!"

"BIAR TAU RASA!!"

"HAHAHA ..."

Ziva tertawa kencang, membuat beberapa siswa yang sedang berolahraga terpaksa melirik ke arahnya.

Gadis itu menunduk malu. Ia mengumpat pelan, berharap agar dirinya menghilang saat ini juga.

"Aishh!!"

"Mau gue taruh dimana nanti muka gue yang tak seberapa ini?"

Ia menghela pelan.

Diangkatnya kedua telapak tangannya, berusaha untuk menutupi kepalanya dari panasnya sinar matahari.

Ziva hanya mencoba pasrah, berpura-pura menikmati hukuman yang diberikan oleh guru psikopat itu. Padahal, dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin sekali meremuk-remukkan tubuh gurunya itu sampai tidak bernayawa lagi. Ya, meskipun ia tahu jika perbuatannya itu tidak baik, tapi Ziva tidak peduli.

Ia sungguh sakit hati!!!

Ditariknya napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya dengan sedikit kasar. Ia kembali menundukkan kepalanya, menatap semut-semut kecil yang sedang berjalan menjauhi dirinya.

Ziva bingung harus melakukan apa, akhirnya ia hanya mematung di lapangan karena rasa lelahnya terasa menyengat ke seluruh tubuhnya.

Namun, tiba-tiba saja tubuh Ziva menjadi sedikit oleng, tapi masih bisa di tahannya agar tetap kokoh. Sedangkan kepalanya terasa berdenyut-denyut, bagaikan diterbangkan ke atas langit yang tinggi lalu terhempas jatuh di tanah yang kering. Padahal ia masih berpijak di tempat yang sama, tak bergerak sama sekali.

Mendadak sekelilingnya terasa kabur, Ziva mengerjap-ngerjapkan matanya, berharap penglihatannya kembali normal. Tapi sakit kepala dan kaburnya menyatu begitu kuat, tak bisa ia tahan lagi.

Ia memijat-mijat pelipisnya, berharap dapat meredakan sedikit rasa sakitnya, tapi tak ada pengaruh sama sekali. Itu hanya membuat kepalanya semakin perih.

Ziva yang tak tahan lagi kemudian melangkahkan kakinya untuk permisi kepada bu Ratna, berharap di biarkan pergi ke UKS dan meredakan dirinya di sana. Tapi, saat masih berjalan dua langkah, mendadak ada sesuatu yang mengganjal di perutnya, dan keluar begitu saja dari dalam mulutnya. Ia memuntahkan cairan putih kehijau-hijauan yang membuat siapa saja akan merasa jijik ketika melihatnya.

Behind The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang