SEPULUH

1.7K 146 43
                                        

Kapan luka ini berlalu? Kapan kegelisahan hati ini pergi menjauh? Sungguh, aku lelah. Lelah menjalani takdir Tuhan yang menyakitkan dan lelah menangisi kisah hidup yang tolol.
-Catherine Zivana-

*****

Sudah hampir duapuluh menit Ziva duduk di taman itu. Ia hanya merenung sendirian, memikirkan nasib mirisnya.

Gadis itu sudah malas untuk kembali ke kelas. Ia ingin pulang saja! Tapi bel tanda berakhirnya pelajaran tak kunjung berbunyi. Andai saja Ziva bisa mempercepat waktu. Pasti ia sudah melakukannya sekarang.

"Ngapain lo disini?" tanya seseorang mengagetkan Ziva. Gadis bernama Ziva tersebut menatap pemuda yang mengajaknya berbicara dengan heran. 'Kayaknya gue pernah lihat cowok ini deh, tapi dimana ya?' Ziva menyipitkan matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. 'Ah! Gue ingat! Dia kan cowok yang semalam! Ternyata dia beneran kakak kelas gue!"

"Elo masih ingat sama gue kan?" tanya pria itu lagi.

"Iya gue ingat," jawab Ziva seadanya.

"Lo lagi ngapain di sini?" pria itu menanyakan hal yang sama untuk kedua kalinya.

"Lo gak punya mata? Lo gak bisa ngeliat apa yang gue lakuin?" jawab Ziva dengan nada yang kesal, sehingga membuat pria itu tertawa receh.

"Gue tau Cat, lo lagi duduk," jawab pria itu dengan senyum yang terus merekah di wajah tampannya.

Ziva memutar bola matanya malas. Ia ingin bertanya kepada sang pencipta. Mengapa harus ada manusia yang terlahir seperti lelaki ini? Kalau dia tahu apa yang Ziva lakuin sekarang, kenapa dia harus nanya hal yang sama untuk yang kedua kali?

Dasar bodoh!

"Jangan panggil gue Cat, Zio."

"Suka-suka gue lah. Lagian nama itu cocok kok buat lo. Muka lo kan mirip kucing," ucap Zio dengan tampang tak berdosa-nya.

Ziva mendecak lidah. "Iyain aja," jawab gadis itu berusaha tidak peduli.

"By the way, ngapain lo sendiri di sini? Emangnya lo gak punya teman?" tanya Zio sembari menatap wajah gadis itu lekat-lekat. Ia tau jika Ziva sedang terpuruk saat ini. Ia dapat melihat dari mata gadis itu yang sendu dan memerah, seperti orang yang habis menangis.

Zio juga tau apa penyebabnya, apalagi jika bukan karena foto yang tertempel indah di mading sekolah.

"Gue memang gak punya teman! Terus lo mau apa? Mau jadi teman gue? Maaf, gue gak berminat!"

Zio terhenyak mendengar jawaban dari gadis itu. Ia tak menduga jika Ziva akan melontarkan kata-kata seperti itu. Aahh, ia jadi merasa malu sekaligus bersalah.

'Ini bukan waktunya untuk bercanda Zio,' batinnya menggerutu.

Zio meraih tangan Ziva yang diletakkannya di atas paha. Ia dapat merasakan perasaan tertekan dari gadis itu. Mata mereka saling bertautan, seolah-olah terkunci. Mulut Zio setengah terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi bibirnya menjadi kelu. Rasanya sangat sulit untuk sekadar berbicara saja. Ada apa dengan Zio? Mengapa ia menjadi gugup saat berdekatan dengan Ziva?

Baiklah, ini tidak boleh terjadi. Zio harus segera menstabilkan jantungnya yang berdetak tak karuan.

"Cat ... Gue minta maaf ya. Gue tau gue salah. Gue yang udah nyebabin lo kayak gini. Seandainya semalam gue gak datang ke taman itu, pasti lo bakal baik-baik aja. Maafin gue ya, please ..." ucap Zio tulus dengan kepala yang tertunduk. Ia tidak berani untuk menatap mata gadis itu. Ia tau jika Ziva sedang marah padanya. Tapi, ia harus meminta maaf kepada Ziva. Ia bukanlah seorang lelaki pecundang. Kejadian ini juga bermula dari dirinya.

Behind The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang