Epilog

452 42 5
                                    

"Will aku merasa rindu. Rindu sekali. Tapi aku tak tahu aku merindukan apa? Apakah aku merindukan orang tuaku?" tanya Prim memandang ke arah langit di dekat jendela dari apartemennya.

"Mungkin.. apa kau tak pernah bertemu mereka lagi setelah lima tahun lalu?" tanya Will yang membawa dua mug kopi dan duduk di sebelah Prim.

"Maksudmu orang tuaku?" Tanya Prim melirik Will.

Will mengangguk dan mengecup kening Prim dengan lembut.

"Aku sering melihat mereka saat mereka mengawasi ku di sekitar sini." ucap Prim mengambil mug kopi dari tangan Will.

"Sering sekali bahkan setelah perjalanan kita yang terakhir." sambung Prim menyeruput kopinya.

"Aku juga merindukan orang tuaku. Bagaimana kalau kita pergi kepemakaman besok?" tanya Will tersenyum melihat Prim dan membelai rambutnya yang panjang.

"Tentu." ucap Prim tersenyum dan meminum kopinya.

"Aku tak tahu tapi terkadang mata coklatmu itu terlihat sangat hitam." ucap Will memicingkan matanya menatap Prim dan memegangi dagu Prim dan mencium bibirnya.

"Aku menyayangimu Prim " ucap Will meletakkan kopinya diatas meja dan memeluk Prim dengan erat.

"Aku juga Will." ucap Prim membalas pelukan Will.

***

Prim dan Will keluar dari daerah pemakaman dengan pakaian hitam sambil bergandengan tangan. Mereka melihat lapangan bola dimana ada beberapa anak-anak yang tengah bermain bola.

"Ayo kita kesana." ucap Will tersenyum melihat permainan bola yang tampak seru.

"Aku lelah Will, aku ingin kembali." ucap Prim dengan wajah bahagia ikut menatap permainan bola itu.

Will tertawa geli yang melihat Prim tersenyum melihat permainan bola anak-anak itu tapi kata-katanya tak sejalan dengan apa yang diucapkannya.

"Ayolah." ucap Will melepaskan jasnya dan menarik Prim kesebuah kursi panjang di dekat lapangan bola itu, Will memakaikan jasnya di tubuh Prim dan ia segera melonggarkan dasinya dan melipat tangan kemeja putihnya berlari kelapangan bola. Will meminta untuk ikut bermain bersama anak-anak yang tengah asik. Anak-anak itu menyetujui Will yang ikut andil dalam permainan sambil tersenyum riang.

"Aku merindukan yang tak aku rindukan. Tak ada kenangan yang mampu ku ucapkan dan hanya perasaan yang mampu aku rasakan." Gumam Prim menatap lapangan bola dimana Will bermain bola bersama anak-anak dengan riang.

"Aku ingin kembali." ucap Prim menutup matanya.

Will melambaikan tangannya kearah Prim dan tersenyum bahagia berebut bola dengan anak-anak remaja yang menjadi tandingannya.

Prim memeluk tubuhnya sendiri dan ia merasakan sesuatu yang menganjal pada kantung jas hitam milik Will.

Prim mengeluarkan sebuah batu berwarna biru yang bersinar terang seukuran biji kopi. Didalam batu itu tampak asap yang terperangkap yang tertiup-tiup angin dengan lembut.

Prim teringat akan wajah Ratu Elphrim yang membisikkan sesuatu ditelinganya yang membuatnya tersenyum tipis.

"Boiern.. air kehidupan! Mintalah apapun yang kau inginkan dan ia hanya akan mengabulkan satu permintaan dan itu adalah permintaan yang paling kau inginkan dari lubuk hatimu." bisik Ratu Elphrim pada telinga Prim.

Prim menutup matanya tersenyum dibangku panjang itu "Aku ingin kembali." ucap Prim kepada dirinya sendiri menggenggam batu Boiern dengan erat.

Will yang tengah bermain bola sesekali melirik Prim yang berada dikursi panjang. Gadis yang dicintainya itu adalah gadis yang sangat ia puja karena kebaikannya dan juga kemurahan hatinya.

Will melirik Prim yang tersenyum bahagia sambil menutup matanya di kursi panjang dan Ia ikut tersenyum melihat gadis pujaannya itu bahagia. Namun saat ia memalingkan wajah untuk sebentar saja tiba-tiba Prim menghilang dari bangku itu dan yang tersisa hanyalah jas Will yang tergeletak di bangku panjang.

***

Prim berdiri di sebuah gunung menatap sebuah benteng yang terbentang panjang ditengah-tengah pegunungan yang tinggi dan mengerikan. Beberapa pria dengan pakaian yang terbuat dari besi berkeliling di sekitar benteng dan ada beberapa lagi yang berdiri di setiap pos-pos benteng itu.

"Dimana ini?" tanya Prim kepada dirinya sendiri memandangi pemandangan itu. Ia berbalik dan melihat sebuah kota berwarna putih yang bersatu dengan sebuah gunung tinggi dibelakangnya melewati lapangan hijau yang luas dan indah.

Prim melangkahkan kakinya memandangi kota itu yang diatasnya terdapat sebuah istana megah. Dan suara riuh dari kejauhan yang teredam oleh dinding dapat terdengar dengan jelas oleh Prim.

"Kerajaan Putih." ucap Prim mencium aroma mawar putih yang semerbak menusuk Indra penciumannya. Ia melangkah berlahan menuruni gunung itu sedikit demi sedikit. Ia mengingat semua pertarungannya dengan para orc dan ia terhenti berbalik dengan tangan seperti memegang pedang bersiap menyerang naga khayalan yang menukik turun kearahnya dengan sigap.

Prim meremas genggamannya saat mengetahui ia hanya berkhayal, ia kembali menuruni gunung itu dengan hati-hati. Suara seseorang memanggil namanya tergiang dikepalanya dan ia melihat satu persatu kenangannya yang hilang di dunia lain ini kembali.

"Prim." ucap Kai yang turun dari kudanya memandangi Prim yang tak jauh darinya memakai gaun hitam.

Prim hanya memandangi Kai yang melangkah selangkah demi selangkah memastikan wanita yang dihadapannya adalah Prim.

Prim diam ditempatnya memandangi Kai yang terus mendekatinya. Prim menggumam hendak mengatakan sesuatu yang sudah ada dimulutnya namun tak mampu ia keluarkan.

Khayalan atau bukan untuk Prim, tapi semua hal yang ada dihadapannya saat ini tampak begitu nyata.

"Itu dirimu Prim?" tanya Kai yang menghentikan langkahnya yang tak mampu memastikan bahwa wanita yang ada dihadapannya adalah Prim.

"Ka.. kka.. Kai" ucap Prim tergagap mengucapkan nama Kai yang saat ini tak jauh dari hadapannya.

Kai tersenyum bahagia dan  berlari dengan kencang untuk memeluk Prim  dengan erat.

.
.
.
.
.
.

..Epilog..

Iridessa menundukkan kepalanya didepan sebuah gua yang besar dan gelap dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Angin sepoi-sepoi membawa dedaunan melayang-layang diudara dengan anggun.

"Aku tak bisa menemukannya. Aku sudah mencari ke berbagai tempat yang mungkin dimana Batu Boiern milik Prim berada. Namun aku tetap tak bisa menemukannya." ucap Iridessa tetap menundukkan kepalanya kearah gua gelap yang begitu besar dan tinggi.

"Prim sudah bangun dari masa kritisnya. Ia akan membaik. Dan Prim sudah memenuhi keinginannya untuk dapat membantu kerajaan putih. Aku yang akan membantunya untuk pulang." ucap suara menggelegar dari dalam gua itu dan tampaklah sebuah mata yang sangat besar berwarna Hiju seperti mata ular dari dalam gua menatap Iridessa yang menundukkan kepalanya di depan gua gelap itu.

"Batu Boiern itu akan memenuhi takdirnya nanti. Dan pada saat ia bertemu denganku, aku akan berbagi kekuatan dengannya sebagai pemilik ku." ucapnya lagi dan beberapa kali mata itu berkedip dan kembali menghilang ditelan kegelapan dan Iridessa pun bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan gua.

...The End...

Sudah berakhir cerita Missing to Another World kita..

Gimana akhirnya?

puas nggak sama cerita yang aku buat ini..

wajar kalau nggak puas.. karena  ini yang pertama aku publish.. lagi pula nggak banyak comment buat memperbaiki ceritanya.. udah lah saya legowo wae

..

jangan lupa kasih Vote and Comment nya for all the part.. love you all reader..

BUBHAY :)

Love you all, my readers :)

Missing to Another WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang