Berburu burung menjadi agenda selanjutnya bagi seorang Kim Namjoon. Dalam keadaan tangan terborgol, dia tidak bisa berbuat apa pun. Title-nya sebagai monster penghancur sedang tidak berguna sekarang. Harusnya dia bisa menghancurkan borgol itu dalam sekali pegang, tapi kekuatannya seakan telah disegel oleh 'siluman Tarzan' di sebelahnya. Akhirnya dia terpaksa ikut masuk ke dalam hutan belantara. Tangan kirinya membawa sebuah ketapel.
"Buat apa berburu burung? Akan kau ternakkan?" tanyanya saat mereka sudah nyaris separuh jalan.
"Ng? Tidak. Akan kumasak untuk makan malam kita," balas Sena tanpa sedikitpun menoleh. Dia sedang sibuk melihat ke atas, mencari burung-burung yang biasanya terbang bebas di sana.
"Bukannya itu illegal?"
"Memang apa peduliku?"
Namjoon mendecih. Iya juga, memang sejak kapan gadis itu peduli soal illegal tidak illegal? Rusa dan kelinci kemarin saja yang tidak tahu asalnya, tiba-tiba dibawa pulang dan dimasak. Apalagi burung.
"Ngomong-ngomong, kau ini usia berapa?"
"Kau penasaran?"
"Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak tahu usia orang yang sudah memberikan tempat tinggal dan makanan untuk kami?"
Sena tersenyum tipis. "Kau mau balas budi?"
"Jangan harap."
"Sudah kuduga." Sena tiba-tiba berhenti –yang otomatis membuat Namjoon juga berhenti-, mengeluarkan sebuah batu dari sakunya, lalu....
BRUK!
Namjoon tersentak. Seekor burung yang ukurannya dua kali lebih besar dari burung pipit terkapar di depan mereka. Kepalanya berdarah. Namjoon langsung menatap Sena ngeri.
"Assa! Kita akan pesta daging burung nanti malam~~" Siul Sena sembari memasukkan hewan yang sudah mati itu ke dalam timba yang dibawanya. Katanya, dia membawa itu untuk jaga-jaga kalau burung yang mereka dapat itu besar dan banyak. Lumayan, bisa dijadikan bahan makanan untuk dua hari. Padahal daging rusa dan kelinci kemarin saja masih banyak. Kalau saja tidak dibagi dengan wolfdog, mungkin daging itu baru akan habis bulan depan –itupun kalau dimakan setiap hari.
"Kau hidup seperti ini huh?" tanya Namjoon tak percaya. Gadis itu bahkan tak punya rasa jijik sama sekali saat tangannya terkena cairan darah. Padahal, di pusat Kerajaan, gadis-gadis di sana sangat menghindari hal-hal yang seperti ini. Kotor sedikit sudah nangis bombay, itulah kenapa Namjoon sangat tidak percaya melihat kelakuan gadis belia di depannya ini.
"Memang kenapa? Kau prihatin padaku? Jijik melihatku?" Sena menyeringai. "Di sana pasti isinya hanya gadis-gadis 'mewah' seperti katamu waktu itu 'kan? Bukankah sudah kubilang, di sini, tidak ada yang bisa dimewahkan. Kalau kau mau hidup, kau harus mau melakukan semua ini."
Namjoon mengikuti kemana Sena pergi.
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku."
"Yang mana?"
"Usiamu."
"Oh. Tahun ini aku sembilanbelas."
"Ye?! Sembilanbelas?! Yaa! Kau bahkan lebih muda dari Jungkook!"
"Oh ... begitu ya?" balas Sena cuek. Dia berhenti lagi, menembak seekor burung lain dengan ketapelnya. Burung kali ini berjenis lain, tapi ukurannya mirip.
"Aku duapuluh tiga. Kau harus menyebutku oppa."
"Aku akan menyebutmu oppa kalau kau sudah berusia empatpuluh tahun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Freak Hwarang [completed]
FanfictionKetika kau diberi pilihan; kekuasaan, persaudaraan atau cinta?