Sesekali Sena masih terisak saat dia berjalan ke kamarnya dibantu oleh Jimin. Dia memberitahu Jimin di mana letak kamarnya, dan Jimin dengan sigap mengantarnya ke sana.
Sesungguhnya dia masih ingin menangis. Sakit rasanya saat dia harus mengakhiri hubungan dengan Namjoon. Hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, sesuatu yang sukses membuat hatinya robek untuk kedua kali setelah nyaris dilecehkan oleh Ro.
"Ini kamarmu?"
Suara pria dengan nada lembut di sampingnya membuatnya menoleh, kemudian mengikuti arah tunjuknya. Ia mengangguk. "Hm. Ini kamarku."
Jimin pun menggeser pintu tersebut, kemudian memapah Sena masuk. Ia mendudukkan Sena di tepi ranjang. Dan tak lama kemudian, Seokjin datang sambil membawa segelas air.
"Minumlah."
Sena menerima gelas kaca itu, lantas menyesap isinya sampai ludes. Jimin dan Seokjin memperhatikan bagaimana Sena membuat suara meneguk air dengan mata tertutup, seolah meresapi. Dan Seokjin cepat-cepat menerima gelas kosong dari tangan Sena.
"Gomawo, Oppa."
"Sekarang tidur saja. Aku sudah menyuruh dayang-mu untuk membuatkan kompresan air hangat agar matamu tidak bengkak. Kaja, berbaringlah. Akan kuselimuti." Seokjin dengan telatennya membantu Sena untuk berbaring bahkan membantunya melepas sepatu. Setelah Sena sudah berbaring dengan baik, ia pun merentangkan selimut dari bahu sampai ujung kaki. Kemudian menata rambut Sena yang sedikit berantakan.
Ia tersenyum. "Tidurlah yang nyenyak. Kita akan bertemu lagi begitu kau bangun."
Sena tahu kalau ruangannya ini hanya memiliki beberapa jendela yang itu tidak bisa dijadikan jalan masuk sinar matahari karena memakai tirai renda. Namun saat ini dia tengah merasakan sinar matahari memeluknya hangat. Dia sangat menyukai paparan sinar matahari, dan sinar yang berasal dari senyum Seokjin adalah salah satu yang paling disukainya. Ia tak tahan untuk tidak tersenyum. Kepalanya mengangguk, menurut.
"Aku tinggal dulu. Jimin-a, ayo keluar."
"Tunggu!"
Kedua pangeran itu langsung menoleh. Seokjin mendekat, "ada yang kau butuhkan?"
Sena mengarahkan telunjuknya pada Park Jimin. "Aku ingin mengobrol sebentar dengan Jimin, Oppa. Bisakah kau biarkan kami?"
Seokjin memutar kepalanya pada Jimin, lalu menatap Sena lagi. "Tentu. Kalau begitu aku keluar duluan."
"Kau ingin bicara padaku?" tanya Jimin dengan penasaran sekaligus tak percaya setelah Seokjin benar-benar keluar dari ruangan tersebut.
"Um. Hanya sebentar. Duduklah di sini." Sena menepuk sisi ranjangnya yang kosong, meminta Jimin untuk menempatinya. Tentu saja Jimin menurut tanpa banyak protes.
Mereka terlibat kontak mata yang cukup lama dalam diam.
Jimin mulai risih karena hatinya terus bergejolak tiap kali melihat rupa itu. Makin lama dia makin takut pada dirinya sendiri. Bagaimana kalau dia semakin berharap dan semakin takut kecewa? Kemungkinan-kemungkinan itu jelas ada. Tapi mana yang akan terjadi, itulah yang tidak bisa dia tebak. Dia takut jika kemungkinan terburuklah yang akan terjadi. Bagaimana kalau setelah putus dengan Namjoon, Sena berpaling pada Yoongi? Dirinya sadar, Sena tidak melihatnya. Bagaimana seorang gadis akan melihat seorang pria jika pria itu sendiri memilih untuk tetap bersembunyi?
"Jimin."
"Ne?" Jimin mengangkat kedua alisnya.
"Apakah aku bisa memohon sesuatu darimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Freak Hwarang [completed]
FanfictionKetika kau diberi pilihan; kekuasaan, persaudaraan atau cinta?