Pertama kali memakai jubah putri kerajaan, Sena tampak kesulitan saat berlari menuju ruang ayahnya. Gaun putri sangat berat, dan besar, beda sekali dengan pakaiannya sehari-hari di pondok. Mungkin inilah salah satu konsekuensi dari kesetujuannya menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Bahkan sepatu berhak-nya terasa begitu menyebalkan di kaki. Ingin sekali dilemparnya sepatu itu jika saja dia tidak dipelototi oleh dayangnya yang menjadi alasan kenapa dia pasrah memakai sepatu tersebut.
Setelah menempuh jalan yang panjang dan penuh dengan penjagaan para prajurit istana, akhirnya Sena sampai juga di depan pintu ruang ayahnya. Di sini penjagaan jauh lebih ketat. Pintu dua sisi itu dijaga oleh empat prajurit bertubuh besar dan membawa senjata api. Membuat Sena gentar memang, tapi, mereka tidak akan melakukan apa pun karena dia adalah seorang putri.
"Bisakah aku bertemu Paduka Raja?" tanyanya dengan suara tenang, lebih tepatnya berusaha tenang.
Tanpa menjawab, atau setidaknya merespon, dua dari mereka langsung membuka pintu. Kemudian satu diantaranya masuk ke dalam sebentar untuk memberitahu raja, dan kembali keluar setelah mendapat persetujuan.
"Silahkan masuk, Tuan Putri."
Sena mengangguk kaku lantas mengayunkan kakinya memasuki ruang tersebut.
Raja Bang ada di sana, duduk tenang di depan kanvas sambil menggoreskan kuas yang telah dicelupkan pada kaleng cat. Agaknya Raja tengah sibuk melukis wajah seorang wanita saat Sena mendatanginya.
Ketukan yang ditimbulkan sepatunya lantas membuat Raja menoleh. Dia tersenyum, terlihat cukup manis berkat matanya yang sipit dan pipinya yang tembem. "Halo putriku. Ada apa gerangan kau kemari?"
Sena terlalu penasaran pada wajah yang digambar ayahnya sampai dia lupa pada tujuan awalnya kemari. Tampak dirinya menggaruk kepala belakang, menunjukkan sekali kalau bingung.
Raja Bang sepertinya mengerti pada kebingungan anak gadisnya. Dia menyuruh Sena duduk, kemudian memerintah salah satu pelayannya untuk menyiapkan minuman.
"Kau berkeringat sekali, putriku. Terlalu rindu ayahmu sampai lari-lari, um?" goda Raja Bang sembari mencelupkan kuasnya ke dalam kaleng cat.
Sena yang baru sadar dengan wajahnya yang basah pun segera mengeringkannya dengan punggung tangan. Lantas dia kembali memperhatikan lukisan ayahnya.
"Kau tahu siapa wanita yang sedang digambar ayahmu ini?" Tiba-tiba saja Raja Bang bersuara. Sedetik Sena pikir ayahnya memiliki kekuatan membaca pikiran. Tapi segera ditepisnya pikiran itu setelah dia menyadari bahwa mereka hidup di dunia nyata.
"Apakah itu salah satu dari ibu para pangeran?" sahutnya mencoba menebak. Bertepatan dengan itu pelayan yang disuruh tadi datang dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman gingseng yang mengepul.
Raja Bang tersenyum puas. "Wah ... anakku pintar sekali. Tidak heran, darah dagingku dan Siyoon."
"Siyoon?"
Raja Bang menoleh. "Nama ibumu. Oh Siyoon."
Sekarang Sena akhirnya tahu darimana marganya berasal. Kenapa bukan Bang? Kenapa Oh?
"Kau akan mati kalau marga-mu sama denganku, Tuan Putri. Itulah kenapa kau memakai marga milik Siyoon."
Sekali lagi raja berhasil membaca pikiran Sena. Makin membuat Sena dilema jika ayahnya ini serius seorang pembaca pikiran.
"Aku tidak perlu cerita 'kan kenapa kau akan mati jika memakai marga-ku? Aku yakin Seokjin sudah menceritakan semuanya padamu."
Sena menelan ludah. Sekarang dia benar-benar yakin jika ayahnya itu adalah pembaca pikiran!
KAMU SEDANG MEMBACA
Freak Hwarang [completed]
FanfictionKetika kau diberi pilihan; kekuasaan, persaudaraan atau cinta?