Satu

9K 458 13
                                    

Suara Salina tercekat, menatap wanita paruh baya yang ia panggil Mama. Anita, ibunya, tersenyum pilu, air matanya mengalir dari kedua matanya yang indah dan sayu. Anita merentangkan kedua tangannya, masih menangis, pipinya basah sampai ke bibir meski tetap tersenyum menatap anaknya.

Salina hanya menatap ibunya, tanpa menerima rentangan tangan yang mengarah pada Salina berharap mendapat pelukannya. Salina menatap kosong wanita paruh baya yang dulu begitu ia hormati karena kelembutan dan kesabarannya mendidik Salina dan kakaknya. Wanita yang kacau balau di hadapannya kini pernah begitu cantik menyambut Salina pulang dari sekolah, menyiapkan makan siang yang selalu membuatnya tak sabar untuk pulang.

Anita menggeleng, "Lina nggak mau peluk Mama?" tanyanya, parau. Lalu tersenyum dengan air mata yang terus mengalir.

"Sampai kapan, Ma?" Salina bertanya pasrah, suaranya bergetar. Ia berkali-kali berjanji pada dirinya untuk tidak menangis di hadapan ibunya.

"Sampai kapan Mama mau nyiksa diri Mama sendiri?" tanya Salina sekali lagi.

Kali ini ia ingin sekali memaki, entah kepada siapa. Melihat ibunya yang dulu begitu anggun bak ratu kerajaan kini harus menghempaskan kewarasan, meneguk botol demi botol minuman beralkohol setiap hari dengan dalil mengharap ketenangan. Salina pernah hampir mencoba, melihat wanita paruh baya yang ia panggil Mama sering menari, melambai bahkan terkulai lemas membuatnya ingin merasakan hal yang sama. Tapi kekuatannya masih cukup untuk bertahan lagi dan lagi, meski tangisnya sering tumpah di tengah malam.

Gadis cantik itu menghentakkan kakinya, sorot matanya yang iba menatap lurus pada Anita. Dilihatnya jam yang menempel di dinding kamar ibunya, lantas membuka laci di samping tempat tidur mewah itu, mengeluarkan botol obat ukuran tanggung berwarna putih. Salina mengeluarkan beberapa isinya, lalu mengulurkan tangannya ke hadapan sang Ibu. Anita menatapnya layu, mengangguk pelan.

Salina menyuapkan obat tersebut, lalu membantu ibunya meneguk air mineral yang ia minumkan. Ia mengusap lembut tangan ibunya yang dingin, menarik selimut untuk menghangatkan wanita paruh baya yang ia cintai lebih dari apapun.

"Maaf..." Anita bergumam tanpa suara.

Salina menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar. Ibunya sudah terlelap di bawah bantuan obat tidur. Setelah merapikan posisi tidur ibunya, Salina berdiri, meninggalkan wanita paruh baya itu terlelap sendirian di kamar utama keluarga Salina.

"Mama, kenapa?"

Suara berat pemuda tampan dengan kaos hitam polos dipadukan dengan celana jeans panjang berwarna gelap, kalung polos tanpa bandul terlihat melingkar di lehernya. Salina melirik malas, lalu menaikkan pundaknya. Malas menjawab pertanyaan kakak laki-lakinya, Reza.

"Minum lagi?"

"Menurut lo?"

Pemuda itu membuang napas kesal, meski begitu tatapannya tetap tak tega menatap manik mata adik kesayangannya yang penuh luka. Pandangan pemuda itu terus mengikuti langkah kaki Salina, lalu dengan kasar menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tengah. Salina melangkah gontai menuju ambang pintu kamarnya dengan mata perih menahan butir air mata sedari tadi.

"Papa, belum pulang?"

Salina menoleh jengkel, memutar bola matanya dengan bibir menganga. Lalu terkekeh meremehkan. "Menurut lo, gue peduli?" sambarnya, kening gadis itu berkerut, berhasil membuat kedua alisnya hampir menyatu.

"Lin..."

Gadis cantik itu membalikkan badannya cepat, rambut yang sengaja ia ikat asal-asalan mengayun kilat. Salina menutup pintu kamarnya kasar, meninggalkan dentum nyaring pintu kayu beradu dengan dinding. Menumpahkan amukan di kepalanya yang dari tadi ia biarkan tanpa pelampiasan. Reza tidak memalingkan sedikit pun tatapannya dari pintu kamar Salina. Berharap gadis cantik yang dulu menjadi sumber kebahagiaannya membuka pintu dengan ceria, memanggilnya riang dengan tawanya yang renyah. Tawa yang selalu ia rindukan setiap hari, di rumah ini.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang