Sepuluh

3.3K 287 15
                                    

Assalamualaikum, saya lanjutkan ya?

*

Suasana Kafe in sore ini benar-benar sepi, selain hujan deras yang mengguyur seluruh sudut kota, juga karena beberapa dari mereka harus berhalangan hadir dengan bermacam-macam alasan. Salina memperhatikan sekeliling kafe, betapa suara khas Manda terngiang di telinganya, gayanya saat memegang sapu dengan bibir komat-kamit, dan kelucuan Manda lainnya. Untuk pertama kalinya ia merasa asing di tempat yang setiap hari ia datangi. Salina memangku dagunya, sebelah tangannya memutar tutup pulpen, memperhatikan pengunjung kafe yang tengah asyik bercanda sambil menunggu hujan reda, hanya satu meja ini yang terisi. Lantas ia membuang napas berat, egoiskah dia jika luka menjadikannya enggan memaafkan?

"Nggak usah ngelamun gitu, mending bikinin saya kopi." dari arah pintu masuk, Ibra dengan baju setengah basah mampu menarik Salina kembali ke alam sadarnya. Salina mengangat wajah, mengikuti langkah Ibra yang menciptakan jejak air di sana. Salina menarik napas, lalu membuangnya kesal. Dengan gontai ia menghampiri Ibra yang kini sudah memilih tempat duduk kesukaannya.

Salina meletakkan buku menu pelan-pelan, lalu menunggu laki-laki yang masih sibuk dengan ujung celananya yang basah, juga rambutnya yang tak beraturan. Salina masih berdiri dengan sabar, memperhatikan laki-laki di hadapannya basah dan kedinginan, sampai akhirnya Ibra mengangkat wajahnya, memegorki Salina yang menatapnya dengan tatapan tidak tega.

Ibra berdehem, membuyarkan fokus Salina, laki-laki itu tengah berusaha menahan senyum melihat gadis di hadapannya gelagapan salah tingkah.

"Mana kopinya?" tanya Ibra, menyebalkan.

Salina menganga, "Hah?"

"Kopi, bukan hah." jawab Ibra seenaknya.

Salina menarik napas pelan, lantas mengangguk. "Baik, ada lagi?" ia tetap berusaha profesional melayani pelanggan setianya meski dadanya bergemuruh, ingin rasanya kuku-kuku cantik Salina mendarat di wajah tampan laki-laki itu. Atau tangannya yang lihai menarik kasar rambut Ibra yang berantakan. Tapi sekali lagi, ia hanya menahan napas.

"Memangnya perlu ditanya lagi ya? Kan saya sudah langganan."

Salina mengangguk, merasa tidak perlu menjawab akhirnya ia melangkah meninggalkan Ibra yang mulai sibuk dengan bukunya.

Beberapa menit sesudah itu, Salina datang kembali dengan nampan berisi secangkir kopi pesanan Ibra dan segelas air putih. Diturunkannya dengan hati-hati cangkir dan gelas tersebut, lalu membungkuk hormat dan mempersilakan Ibra menyesap kopinya. Laki-laki itu memperhatikan tiap gerak-gerik Salina, anak rambutnya menguntai manja di pelipisnya, juga rambut Salina yang sengaja diikat berayun santai saat tubuhnya membungkuk di hadapan Ibra. Ibra memperhatikannya tanpa jeda, sampai gadis itu mengambil langkah untuk kembali, Ibra menahannya cepat.

"Salina."

Langkah Salina terhenti, ia berbalik arah. Menatap Ibra dengan alis terangkat, mengiyakan dengan tatapan penuh tanya.

"Dingin ya?"

Mata Salina membelalak, "Hah?"

Ibra terkekeh, "Saya butuh teman bicara, sepertinya kamu masuk kriteria."

Salina lagi-lagi hanya menganga. "Santai-santai, saya cuma butuh diajak ngobrol aja kok, kamu nggak perlu panik, saya belum bilang cinta." lanjut laki-laki itu tanpa dosa.

Ibra tertawa melihat ekspresi terkejut Salina.

"Maaf, saya permisi." gadis itu memilih tidak menghiraukan ucapan laki-laki yang kini tengah asyik menatapnya dengan tatapan geli.

"Kamu keras kepala banget ya, padahal saya pikir kamu mau nemenin saya ngobrol." suara Ibra tetap berhasil menembus indra pendegaran Salina meski gadis itu sudah berbalik arah.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang