Dua Puluh Satu

2.8K 286 6
                                    

Dua Puluh Satu: Kau yang berdarah, tapi aku yang terluka, katakan padaku jika memang benar ini cinta.

*

Kabut pagi ini mengalirkan silir bekas hujan tengah malam. Tidak ada panas menyengat matahari yang biasa menyapa setiap penduduk bumi dari ufuk timur, hanya genangan-genangan yang bercampur kenangan merambah pada tiap ujung jalanan.

Salina mengeluarkan sebelah tangannya dari saku jaket yang ia kenakan, setelah mengunci pintu utama ia melangkah menuju pagar yang hanya biasa dirapatkan oleh penghuni kos putri itu. Salina merapatkan pagar kosnya, lantas kembali memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku jaket.

Baru saja membalikkan badan, Salina langsung terlonjak kaget begitu menyadari seorang laki-laki menunggunya di atas motor dengan raut cemas, helmnya sengaja ia letakkan pada kaca motor hingga bertengger manis di sana. Salina menatapnya datar, lalu kembali melangkah seperti tak pernah melihat sebelumnya.

Laki-laki itu turun dari motornya, mengejar langkah Salina sebelum benar-benar jauh.

"Sal..." langkahnya yang cepat mampu menyejajarkan dengan langkah Salina.

"Salina..." panggilnya seraya menarik lengan Salina hingga gadis itu terpaksa menghentikan langkahnya.

"Dengerin saya dulu, Please." ia memohon dengan raut tegang. Salina hanya menatap datar, lalu kembali hendak melangkah.

Belum sempat mengambil beberapa langkah, tangan gagah laki-laki itu kembali menahannya.

"Sepuluh menit?" tawarnya pelan.

Salina menggeleng.

"Lima menit." katanya lagi, tidak menyerah.

Salina menghela napas, "Nggak ada yang perlu diomongin," jawabnya dingin. Ia belum siap menerima penjelasan apa-apa dari bibir laki-laki di hadapannya. Tidak ada yang ingin ia dengar hari ini.

"Tapi menurut saya perlu."

"Bukan menurut lo." ketus Salina.

"Salina, denger. Kamu mungkin beranggapan saya orang jahat yang sengaja mendekati kamu untuk menyakiti kamu."

"Memang gitu kan?" sambar gadis itu.

"Nggak gitu Salina, demi Tuhan..." lirihnya frustasi.

Salina membuang muka, ia enggan menatap wajah pasrah laki-laki di hadapannya.

"Saya sama sekali nggak ada niatan untuk nyakitin kamu."

Salina terkekeh meremehkan, "Aldo juga bilang gitu." Salina menelan tawanya. Papa juga mungkin bilang begitu, lirihnya dalam hati.

"Saya bukan Aldo Salina, saya Ibra."

"Lo Adit, bukan Ibra."

Ibra mengangguk, "Oke, Aldo memang temen saya, kita temenan dari dulu. Jauh sebelum Aldo dan kamu berhubungan."

Salina kembali hendak melangkah, penjalasan yang sungguh tidak ingin dia dengar sama sekali.

"Saya memang pengecut, saya nggak berani bilang ke kamu dari dulu kalau saya mencintai kamu." katanya, berhasil mengurungkan niat Salina untuk meninggalkan laki-laki itu di sana.

"Salina, saya yang pengecut ini lebih memilih merelakan kamu dibahagiakan oleh sahabat saya sendiri. Tapi saya salah, saya menyesal, seharusnya memang saya memberanikan diri untuk menggenggam hati kamu."

"Ketika hati kamu disakiti, dada saya ikut perih. Kamu yang berdarah, saya ikut teluka. Beri tahu saya kalau saya salah mengartikan bahwa ini cinta."

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang