Dua Puluh

2.8K 224 10
                                    

Dua Puluh: Tiga Orang Terlalu Ramai

***

"BOLEH gue masuk?" suara itu menggema dari ambang pintu. Salina membuang muka, dadanya kembali nyeri begitu melihat wajah tak berdosa laki-laki itu di sana. Pengkhianatan dalam bentuk apapun selalu membawa Salina kembali mengingat masalah keluarganya. Ia benci melihat film bertema pengkhianatan, atau membaca novel tentang itu, mendengar cerita, dan melihat langsung kejadiannya. Salina benci hal itu, Salina benci pelaku dan korbannya. Salina membenci Papanya yang tak punya hati, juga membenci Mamanya yang tak mau menyelamatkan hati.

Tidak ada yang menjawab.

"Halo, boleh kan?"

Ayumi menoleh tajam, "Lo udah masuk kan?!" jawab Ayumi kesal, sebelum ia dengarkan lagi pertanyaan yang sama dari mulut Aldo.

Aldo tersenyum mengiyakan, lalu melangkah maju dan langsung mengambil tempat di bangku bagian depan. Manda melebarkan matanya, setelah tersadar gadis itu buru-buru menghampiri Aldo.

"Kopi tanpa gula, satu." teriak Aldo, pada siapa saja yang mendengar.

Manda menyentuh lengan Aldo, "Biar aku aja." belum sempat mengambil langkah, tangan Aldo menahan pergelangan tangan Manda. Beruntung kejadian ini hanya disaksikan oleh Ayumi, Fia dan Damar hingga mereka tak perlu repot-repot menutup mata Salina.

"Nggak, kamu di sini." gumam Aldo, dingin. Ia tak ingin dibantah, Aldo menyuruh Manda duduk di hadapannya saja, tidak perlu kemana-mana.

"Salina aja..." katanya nyaring, berhasil memutar kepala Salina hingga menoleh kearahnya. aldo menahan senyum kemenangan, tak peduli pada raut wajah Manda yang merah padam menyaksikan pemandangan di hadapannya.

"Biar gue." Adam bergumam, Salina melirik ke arah Adam sebentar lalu mengangguk mengiyakan.

Aldo melebarkan matanya begitu Adam menemuinya dengan nampan di tangan, menyodorkan kopi pesanan Aldo lalu tersenyum paksa. Senyum kaku yang Adam suguhkan hanya basa-basi, kembali menganggap Aldo hanyalah seorang pelanggan.

"Silakan..." lanjut Adam, akhirnya.

Aldo menganga, ia bangkit dari duduknya sebelum Adam benar-benar mengambil langkah.

"Gue bilang, gue mau Salina yang buat." katanya santai. Manda ikut berdiri.

"Gue yang mau buatin lo."

"Gini cara lo ngomong sama pelanggan?"

"Tapi coffe maker di sini gue, bukan Salina."

"Gue mau Salina yang buat."

BRAK

Adam melempar nampan kosong ke arah meja Aldo, mengenai cangkir hingga tumpah sebagian isinya. Aldo melirik cangkir itu, lalu kembali menatap Adam. Ia tertawa sembari mengusap dagunya.

"Lo mau minum itu, atau lo pergi dari sini?" suara Adam terdengar dingin tapi penuh penekanan. Itu bukan sekedar pertanyaan, itu ancaman.

Damar melepas celemeknya, menyadari akan ada sesuatu yang buruk di antara mereka. Ayumi dan Salina diam di tempat, ikut merasakan suasana tegang yang dialirkan Adam dari tempatnya berdiri.

Andre menahan langkah Damar begitu laki-laki itu hendak menghampiri sahabatnya.

"Gue nggak mau minum kopi itu, dan nggak mau pergi dari sini." jawab Aldo, lalu terkekeh geli.

Adam mengangguk, "Jadi, mau lo apa?"

Manda bangkit berdiri, ia menghampiri Aldo yang tiba-tiba menyebalkan. Dari tadi dadanya sudah naik turun menahan sakit, mendengarkan tiap kata yang keluar dari bibir Aldo seperti menusuk jantungnya berkali-kali. Bagi Manda ini lebih dari patah hati, ini lebih dari sekedar rasa sakit saat cinta bertepuk sebelah tangan.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang