Delapan

3.4K 301 10
                                    

SELAMAT MEMBACA.

Jadi, gini, mau curhat sedikit. Sebenarnya aku ingin nulis cerita baru, kaya semacam cerita cinta religius gitu, tapi ngerasa kaya punya utang aja akhirnya lebih milih menyelesaikan ini dulu aja. Ya walaupun yang baca nggak seberapa, tapi aku berharap viewersnya semakin bertambah juga dengan kritik dan sarannya. Oh iya, jangan lupa follow instagram pemeluksepi YAAAAA GAES. Karena aku juga sering nulis di sana. Jangan lupa loh, ditunggu jejak-jejaknya.

***

Setelah memaksamu berhenti menghubungi saya, lalu apa yang harus saya lakukan jika saya merindukan kamu?

***

Laki-laki menyebalkan itu beranjak, merapikan sebentar celana panjang coklat susu yang ia kenakan lantas melangkah santai menuju kasir kafe. Fia dengan sigap menuju meja yang baru saja dia tinggalkan, membersihkan meja dari sisa cangkir dan piring yang kosong. Buku bacaan yang biasa laki-laki itu genggam dan baca setiap kali berkunjung tergeletak di meja kafe begitu saja, Fia menyambar buku tersebut, mengangkatnya tinggi, memberi kode pada Salina yang baru saja menganter pesanan ke meja luar. Salina mengangkat sebelah alisnya, berjalan menuju Fia.

"Punya siapa?"

"Itu." jawab Fia, setengah berbisik.

"Itu?" Salina mengerutkan keningnya, lalu menggeleng tak mengerti.

"Itu." kali ini Fia menunjuk laki-laki itu dengan ujung dagunya. Salina memutar bola matanya ke arah kasir. Mendapati laki-laki menyebalkan yang berhasil membuatnya ngomel dengan kecepatan bak emak-emak hujan-hujanan pulang ke rumah sambil naik motor karena sadar jemurannya masih menggantung. Laki-laki itu masih asyik mengantri dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana.

"Ya udah lo kasih aja ke dia." jawab Salina sinis.

Fia menggeleng, "Lo aja."

"Kenapa harus gue sih, lo tau kan..."

"yayayaya, please?"

Salina menatap tajam sahabatnya, melirik bengis ke arah laki-laki yang kini sudah sibuk bertanya total harga. Gadis itu mengangguk mengiyakan, dengan sebelumnya mendengus kesal.

"Kalo nggak salah, namanya Aditya. Eh, Ramaditya, Eh, siapa yak gue lupa." gumam Salina, mencoba mengingat-ingat.

"Udah buruan!" Fia mendorong tubuh Salina.

Salina menelan ludah, menarik napas pelan lalu menghembuskan perlahan. Gadis itu berusaha menstabilkan emosi agar tidak sembarangan membuncahkan kemarahan apalagi melihat laki-laki yang meskipun menyebalkan itu tetap menjadi pelanggan setia kafe in.

"Kak Aditya, maaf, ini bukunya."

Laki-laki itu menoleh, tersenyum miring. Dalam hitungan detik buku itu sudah berada dalam genggamannya. Tiba-tiba laki-laki itu menarik tangan kanan Salina, menohok gadis itu dengan tatapan tajam.

"Bilang aja kamu mau kenalanan dengan saya, nggak perlu pakai acara salah panggil nama." ucapnya, santai. Salina membelalakkan matanya, bibirnya menganga kecil.

"Nama Saya, Ibra. Ibrahim Raditya."

Salina masih menganga. Selanjutnya Salina menarik tangannya kasar. Pipinya merah, mungkin karena amarah yang menggebu-gebu atau bisa jadi karena Ibra yang tiba-tiba. Dada Salina naik-turun karena kesal, dia masih tidak habis pikir dengan perlakuan laki-laki di hadapannya itu.

"Senang bisa mengenal kamu." gumamnya lembut tanpa rasa bersalah. Sebelum benar-benar meninggalkan kafe, Ibra tersenyum penuh kemenangan.

***

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang