Tujuh Belas

2.9K 242 7
                                    

Tujuh Belas: Sama Pecah

FIA kehilangan jejak Manda, mobil yang dikendarai gadis itu melaju kencang sedangkan mobil yang ditumpangi Fia terjebak lampu lalu lintas. Sebelumnya supir itu mengatakan bahwa kemungkinan besar mobil yang sedang mereka ikuti akan menuju Bandung, sebab sedari tadi ia perhatikan petunjuk jalan, Manda selalu mengambil jalan yang mengarah pada kota kembang tersebut.

Fia membuang napas berat, lalu mengangguk mengiyakan penjelasan supir. Kemudian gadis itu meminta agar mereka kembali saja ke tempat tinggalnya. Ia makin merasa bersalah, ternyata Manda pergi ke Bandung. Mungkin ia ingin menemui Ibunya. Selama ini Manda terlihat penat dan lelah, tentu memeluk Ibunya akan sedikit menenangkan. Seharusnya Fia membuang jauh-jauh prasangka buruknya pada Manda, mengingat Manda tetaplah menjadi sahabatnya sekali pun ia sempat kecewa pada sikap Manda akhir-akhir ini.

"Seharusnya, gue nggak perlu curiga berlebihan." suara batinnya mengingatkan.

***

Pagi ini Salina dikejutkan oleh kehadiran Ibra yang tiba-tiba. Laki-laki itu dengan tampang tak berdosa menunggu Salina di atas motornya, memamerkan senyum termanis dengan kemeja kotak-kotak yang sengaja tak dikancing, sehingga kaos polos abu-abu terlihat keren dikenakan Ibra.

Salina sama sekali tidak peduli pada penampilan laki-laki itu yang hari ini terlihat lebih rapi. Celananya tidak terlihat bolong-bolong seperti biasa, juga rambutnya tak begitu berantakan. Meski begitu, jiwa seninya tetap tak bisa hilang. Tetap saja Salina melihat Ibra yang biasanya meski sedikit mengubah penampilan.

"Boleh saya anter kamu?" suara berat melankolis itu terpaksa membuat Salina menoleh malas.

"Nggak usah, gue bisa jalan."

"Ya, jalan. Bareng saya." jawab Ibra cepat, ia buru-buru turun dari atas motornya.

"Motor lo?" dahi Salina mengerut hingga kedua alisnya saling bertaut. Ibra menaikkan sebelah alisnya, lalu mengangkat kedua bahunya.

Salina melengos, lantas gadis itu merapatkan pagar kosnya. Ibra terkekeh, ia kemudian menghampiri Salina, menyodorkan helm hitam yang mirip kepunyannya.

"Apaan sih?"

"Helm..."

Salina berdecak kesal, "Gue paham kok kalo ini helm bukan gorengan, maksud gue..."

"Kamu mau ke mana? Biar saya anter." jawab Ibra, lalu tersenyum lebar. Salina membuang napas sebal, laki-laki di hadapannya kini benar-benar tidak pantang menyerah. Ia tidak habis pikir, bukankah sikap Salina jelas sekali bahwa gadis itu menolak berhubungan dengan Ibra? Bahkan sikapnya yang ketus sengaja ia tunjukkan pada Ibra agar laki-laki itu menjauh.

"Gue bisa jalan sendiri." jawab Salina datar. Ibra hanya mengangguk, sok mengerti maksud Salina. "Ya udah, minggir." lanjutnya.

"Kamu memang bisa sendiri, tapi saya nggak bisa." kata Ibra, nada suaranya dibuat serius hingga mengundang degup jantung Salina. "Saya butuh pendamping." lanjut Ibra, lalu tersenyum menggoda.

"Sorry ya, gue nggak buka lowongan." jawab Salina seenaknya.

"Saya tunggu sampe kamu buka."

Salina memutar bola matannya seraya membuang napas jengah, laki-laki di hadapannya itu selalu saja punya banyak cara untuk membuatnya kesal dan geli dalam waktu bersamaan. Ibra hanya tersenyum lebar melihat sikap gadis di depannya, ia masih bersikeras menawarkan helm.

"Sekali aja."

"Enggak."

"Cobain dulu, pasti kamu ketagihan."

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang