Dua Puluh Empat

3K 252 43
                                    

Jangan lupa membaca bismillah sebelum membaca. Maafkan kesalahan ketik, bacalah dengan sepenuh hati.
Semoga berkenan dan jangan lupa tinggalkan jejak kalian.

Salam sepi, dari pemeluk sepi. Saat sepi, kau bisa jadi puisi.

***

Dua Puluh Empat: Jangan Datang.

***

Seharusnya memang tak perlu dipertanyakan,
Kemana, siapa, sedang apa?
Sebab yang ingin, pasti memberitahu
Yang mau, pasti tak perlu menunggu

Seharusnya memang tak perlu dipertanyakan,
Sebab terkadang jawaban begitu menyakitkan.

- Salina Elira

Salina menutup layar laptopnya tidak begitu rapat, usai menulis bait yang bahkan ia sendiri tak paham mengapa harus menulis itu lantas memangku dagu. Membiarkan dagunya bertumpu, dan pikirannya kosong berkelana.

Salina membuang napas berat, pikirannya rasanya seperti ramai dalam sepi. Seperti otaknya memiliki banyak bibir untuk membuat bising. Saling bersahutan mengutarakan dugaan yang mati-matian ia hentikan. Salina menggigit bibir bawahnya, pikirannya terlalu ramai untuk memejamkan mata. Ia begitu terganggu.

Tidak terlalu malam memang, tapi tubuhnya cukup lelah untuk menjadi alasan ia harus tidur lebih awal.

Ponsel di tempat tidurnya berdering mengagetkan, sebuah nomor tanpa nama tertera di layar. Salina menyerngitkan dahinya, hingga kedua alisnya yang cantik hampir menyatu.

"Halo?" sambutnya setelah menggeser layar terima. Deru napas seseorang terdengar begitu jelas. Suara itu seperti orang yang sedang kelelahan.

Tidak ada jawaban dari suara di sebrang sana. "Halo?" ucapnya lagi.

"Salina!" panggilnya buru-buru. Salina berpikir sebentar, seseorang itu tahu namanya? Tapi Salina belum pernah mendengar suaranya.

"Siapa?" tanya Salina hati-hati.

"Ini Bunda!"

"Bunda sia..."

"Ibu kandung kamu!" sambarnya cepat.

Bagai disambar petir, Salina terkejut bukan main. Dadanya mendadak sesak mendengar pernyataan itu. Lidahnya tiba-tiba kelu untuk berkata-kata. Matanya perih, lalu merah, air mata dari bendungan matanya memaksa tumpah. Salina menutup bibirnya, menahan isak yang sedari tadi menyesakkan agar tak terdengar sampai ke sana. Gemuruh di dadanya seakan terus menghantamkan benda keras yang siap membunuh Salina saat itu juga. Salina membuang napas dari mulutnya, bibirnya bergetar, ia tidak tahu harus bagaimana, Salina buru-buru mematikan panggilan, ia melemparkan ponselnya asal.

Lutut Salina lemas, ia jatuh begitu saja ke lantai kamar. Kedua tangannya memeluk lutut, ia meringkuk sendirian. Bayang-bayang Anita yang selama ini mengasuhnya dengan penuh cinta bersahutan dengan suara wanita tadi. Seharusnya Salina bahagia, seharusnya Salina lega, seharusnya Salina menangis haru karena bisa mendengar suara Ibu kandungnya untuk pertama kali. Tapi tidak, Salina tidak sedang terharu. Ia belum siap, ia membayangkan betapa Anita akan terluka mengetahui hal ini. Ia belum siap menerima keberadaan Ibu yang lain selain Anita. Salina belum siap dengan kenyataan bahwa Anita hanya berperan sebagai pengganti Ibunya, bukan sebenar-benarnya Ibu.

Salina terus menggeleng dengan air mata yang terus jatuh ke pipinya yang merah.

"Mama..." lirihnya pelan. Pikirannya penuh dengan Anita, hingga dadanya bertambah sesak membayangkan jika panggilan itu ditujukan bukan lagi untuk Anita.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang