Dua Puluh Dua

2.9K 244 10
                                    

Dua Puluh Dua: Sandiwara Tanpa Naskah

***

Pada bening matanya, ia temukan cinta yang membinasakan jiwa. Kobarkan bahagia demi hati yang dahaga. Sebab pada cinta yang ia banggakan, tak ada tawa, hanya air mata yang sengaja disembunyikan agar tak ada kambing hitam untuk menyalahkan keputusan.

Anita terkulai lemas begitu membaca judul berita yang baru saja disajikan salah satu stasiun televisi. Perusahaan yang diamanatkan padanya harus gonjang-ganjing, menjadi korban keserakahan Anita juga Erwin.

Novi di sampingnya hanya mampu menenangkan Anita seadanya, sebab sedari tadi, majikannya itu hanya duduk lemas di lantai kamar dengan pandangan lurus ke depan.

"Maaf, Bu Anita?" panggil Novi setengah membungkuk.

Anita menggeleng, mengangkat kepalanya, lalu jatuh pingsan begitu saja. Sontak Novi berteriak kaget, memanggil siapa saja yang dapat mendengar suaranya, setelah pelayan rumah juga sopir keluarga datang, mereka langsung mengangkat tubuh Anita dan membawanya ke rumah sakit langganan keluarga mereka.

Reza membunyikan klakson mobil berkali-kali dengan raut wajah penuh emosi. Mobil di hadapannya seakan sengaja berhenti untuk mengejeknya yang buru-buru, padahal biasanya jam kerja begini memang macet parah, dan Reza tahu itu. Hanya saja, pada suasana genting seperti ini, kesabarannya mendadak lenyap tak bersisa.

Ponselnya berdering sedari tadi, beberapa bawahannya mencoba menghubungi dia. Sengaja ia abaikan sebab paham apa yang akan mereka sampaikan. Mereka akan mengabarkan hal yang sama, Ibunya dilarikan ke rumah sakit. Kepalanya mendadak pening bila harus membayangkan akan mendengar kalimat yang sama berulang kali.

Sementara ponsel Salina jatuh dari tangannya begitu mendengar suara Novi yang cepat dengan nafas tak teratur menyampaikan hal yang sama. Salina reflek menggengam pinggir meja, menjadi tumpuan tubuhnya yang ikut lemas. Adam menahan lengan Salina, ikut panik meski belum paham apa masalahnya. Ayumi memungut ponsel Salina, lantas mengamankannya.

"Lin, lo kenapa?" tanya Ayumi panik. Adam menarik pelan tubuh Salina, mendudukkannya di sofa. Sementara Andre menyodorkan segelas air putih, lalu duduk bersandar pada pinggir pantri.

"Lin, lo nggak papa kan?"

Salina menggeleng, ia memejamkan matanya sebentar, lalu kembali menggeleng.

"Nyokap gue masuk rumah sakit." katanya pelan. Ayumi langsung merangkul pundaknya, sementara Andre menatapnya prihatin.

"Ayo gue anter ke sana?" tawar Adam.

Salina hanya mengangguk.

Setelah melewati jalanan begitu padat, Salina buru-buru masuk ke dalam rumah sakit yang sudah dikerumuni banyak wartawan untuk mencari tahu keadaan Anita. Salina menutup wajahnya dengan bantuan rambut yang sengaja ia urai, dengan sebelumnya menyuruh Adam untuk pulang terlebih dulu dan berjanji akan memberikan kabar tentang keadaan ibunya.

Salina berlari kecil begitu menangkap wajah lesu Reza dan Ayahnya, juga Novi yang sedari tadi diam berdiri di depan pintu.

"Bang..." lirik Salina, lalu menangis.

Reza mengangkat wajahnya, ia bangkit berdiri lantas segera menarik tubuh Salina ke dalam pelukannya. Reza menepuk punggung Salina, ia ikut menangis merasakan punggung adik satu-satunya itu bergetar. Sudah lama bahunya tak basah oleh air mata Salina, sudah lama Salina menahan isaknya sendiri hingga sesak.

"Bang..." panggil Salina lagi di sela isak tangisnya.

Reza mengangguk.

Pintu ruang UGD terbuka, Erwin bangkit berdiri, Salina melepaskan pelukannya, Reza menoleh, dan Novi yang bergegas menghadang Dokter.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang