Sembilan Belas

3.1K 222 5
                                    

Sembilan Belas: Cinta Tak Bermata

***

"Kalau saya benar-benar mencintai kamu, apa masih kamu izinkan?"

Salina menganga, jantungnya lagi-lagi berdetak di luar kendalinya. Menyadari Ibra yang masih menatapnya penuh harap, Salina mengalihkan pandangan sebentar, lalu kembali menatap Ibra dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia sendiri tak tahu harus menjawab apa, sebab jatuh cinta sungguh di luar pikiran. Salina ragu menjawab iya, dirinya juga tak cukup tega menjawab tidak.

Salina menyentuh lengan Ibra yang masih menahan pagar kosnya, ia geser perlahan agar tak lagi menghalangi jalan.

Salina menggeleng pelan.

Ibra paham jawabannya, ia lepaskan genggaman tangannya, juga dengan berat hati melepaskan hatinya. Menunggu terlalu lama juga tak selalu membuahkan hasil sesuai harapan. Jika takdir berkata tak bisa miliki, maka persetan dengan usaha, sampai banting tulang demi mendapatkannya pun tetap tak bisa.

Ibra ikut mengangguk, ia menatap sekali lagi pada manik mata Salina yang kini terpejam, gadis itu mengatur napasnya juga menstabilkan emosinya. Sebelum Ibra berbalik, Salina sempat menatapnya dengan tatapan iba. Ibra tidak butuh tatapan itu, ia butuh tatapan penuh cinta dari manik mata gadis di hadapannya. Bukan rasa kasihan seperti ini, ia benci dikasihani.

"Ibrahim Raditya, biasa dipanggil Adit, bukan Ibra..." panggil Salina setelah Ibra berbalik beberapa langkah. "Hati lo bukan milik gue, gue ngga ada hak untuk ngatur kepada siapa lo harus jatuh cinta." lanjut Salina menenangkan. Lantas tanpa menunggu Ibra berbalik menghadapnya, gadis itu terlebih dulu masuk ke dalam. Meninggalkan laki-laki yang sedang tenggelam mencerna kata-kata Salina.

Ibra memangku tangannya di atas meja, suara Salina masih terngiang jelas dalam pikirannya. Salina memberikan teka-teki yang sedari tadi ia pecahkan dengan pikiran ambigu. Jika boleh percaya diri, maka Salina sedang memberinya izin. Tapi jika pikirannya dihiasi rasa putus asa, maka dalam benaknya Salina sedang menolaknya dengan cara yang lembut. Ah gadis itu, penolakannya saja terdengar begitu mempesona.

"Gue nggak ada hak untuk ngatur kepada siapa lo harus jatuh cinta." gumam Ibra pelan, lalu terkekeh geli.

"Gue akan bikin kata-kata itu berubah jadi..."

Ibra tersenyum penuh arti, "Lo cuma boleh jatuh cinta sama gue, Dit." Lanjutnya percaya diri lalu membusungkan dadanya sendiri.

"Eh salah." ralatnya cepat, "Lo cuma boleh jatuh cinta sama gue, Bra."

"Nggak enak banget nama panggilan baru gue." cibirnya. Lalu terkekeh geli pada diri sendiri.

*

Anita terkekeh meremehkan begitu mendapati Erwin masuk ke dalam kamarnya, yang juga merupakan kamar Erwin. Lalu Anita tersenyum dari balik kaca meja rias saat menangkap ekspresi kaku pada wajah suaminya yang masih terpaku di ambang pintu. Anita bangkit berdiri, merapikan sebentar baju terusan yang tergolong santai, lantas melangkah menghampiri Erwin.

Erwin membuang napas pelan, ia paham Anita adalah sumber kebutuhannya meski sulit sekali memberikan hatinya pada wanita itu.Wanita yang dengan tulus menerimanya juga menerima anak-anaknya. Anita dengan sepenuh hati mampu merawat dan mendidik kedua anaknya, menggantikan peran Ibu bagi mereka hingga tak bisa lagi ia bedakan antara Ibu tiri dengan Ibu kandung. Erwin akui memang Anita sosok wanita yang luar biasa, gigih memperjuangkan apa yang ia harapkan. Sementara Erwin hanya laki-laki tak tahu diri yang sama sekali tidak bisa berterimakasih.

"Erwin..." panggilnya pelan.

Erwin lagi-lagi hanya membuang napas. Ada desir rasa bersalah dalam dadanya melihat Anita menanggalkan kewarasan sejak awal wanita itu tahu Erwin mulai mencari kembali masa lalunya. Anita takut kehilangan, bukan hanya takut kehilangan sosok Erwin tapi juga takut kehilangan Salina dan Reza yang ia cintai layaknya anak sendiri.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang