Lima Belas

3.1K 270 11
                                    

"Udah kesini aja deh lo, biar jelas. Ntar gue share location..." jawab Ayumi, santai.
Fia mendengus dari balik telepon genggamnya, "Nggak, gue cuma mau ngomong aja."
"Ya udah, ngomong aja."
"Nggak."
"Apa banget sih lo?"
"Nanti aja, gue telpon lagi." setelah mengucapkan itu, Fia buru-buru menutup panggilannya. Ayumi hanya geleng-geleng kepala, tidak paham dengan maksud sahabatnya yang satu itu.

Salina baru keluar dari kamar mandi, handuk kecil masih menggantung di sebelah pundaknya. Melihat Ayumi yang masih kebingungan dengan sikap Fia, akhirnya Salina mencoba bertanya.

"Ngomong sama siapa lo?"
"Fia, barusan..."
"Oh, ngapain?"
"Nggak tau, nggak jelas."

Salina hanya membulatkan bibirnya, enggan bertanya lebih lanjut. Meski penasaran sampai kedua alisnya hampir menyatu karena kerutan di dahinya, Salina mencoba menahan rasa ingin tahunya.

***

Ibra memarkirkan motornya begitu sampai di kampus. Melepas helm full face warna hitam, dan menggantungkan pada spion motornya. Lantas ia berjalan santai, merapikan sebentar anak-anak rambut di pelipisnya, lalu berjalan dengan sebelah tangan masuk ke dalam saku.

"Dit..." suara berat dari arah belakang menjadikan Ibra membalikkan badan. Menatap tanpa eskpresi ke arah pemuda tampan yang sedang berlari kecil menghampirinya. Ibra mengangkat kepalanya sebentar, ia sedang malas bicara, hanya menanyakan maksud temannya itu dengan isyarat gerakan kepala.

Pemuda yang memanggilnya tadi menepuk pundak Ibra, lalu terkekeh menyebalkan. "Apa kabar, Dit? Eh, nama panggilan lo berubah Ibra ya?"

Ibra melebarkan matanya, berusaha menangkap air muka sinis pemuda di hadapannya kini. Kemudian ia terkekeh, dan mengangguk mengiyakan.

"Tapi panggilan itu khusus buat satu orang kan? Jadi, gue nggak boleh manggil Ibra juga dong?"
"Boleh, silakan." jawab Ibra masih santai.
"Oh boleh."
"Lo maunya dilarang?"
"Gue kira dia special, ternyata sama aja."
"Maksud lo?"
"Jadi nggak ada yang special kan?"

Ibra diam, memperhatikan ekspresi temannya yang ia pikir sedang mengejeknya. Ibra tersenyum tenang, "Istimewa." jawab Ibra, seenaknya. Lalu ia membalikkan badan, tidak ingin menanggapi lebih lanjut.

"Dit, balikin lah ke gue."
Ibra kembali berbalik badan, "Apanya?"
"Salina..." jawabnya langsung. "Balikin ke gue, dia punya gue."
"Kalau dia mau." jawab Ibra, sambil terkekeh.
"Kalau mau, boleh?"
"Kalau lo nggak punya malu, boleh." jawab Ibra, telak. Menciutkan nyali lawan bicaranya yang sebelumnya sudah berbangga diri.
"Balikin ke gue, Dit. Please..."
"Gue nggak ambil dia, lo yang sia-siain dia."
"Gue sayang banget sama dia Dit."
"Gue juga." jawab Ibra santai. Ibra terkekeh melihat ekspresi teman di hadapannya, lalu kembali berbalik, melanjutkan langkahnya yang sudah dua kali diberhentikan.

"DIT, KOK LO MAU SAMA BARANG BEKAS SIH?"

Ibra kembali membalikkan badan. Mengambil langkah menghampiri pemuda tadi dengan amarah yang berusaha ia tahan agar tak pecah sembarangan. Pemuda itu terkekeh sinis, seperti berhasil membangunkan macan yang asyik terlelap.

"Bilang sekali lagi." suara Ibra berubah dingin.
Ia tertawa, "Kenapa?"
"Bilang sekali lagi." jawab Ibra, tatapannya yang dingin benar-benar menakutkan.
Pemuda itu masih asyik tertawa, sama sekali tidak peduli pada air muka Ibra yang dingin membekukan.

"BILANG SEKALI LAGI!" Ibra mencengkeram erat kerah bajunya, tatapan Ibra yang tajam menembus tepat pada bola mata pemuda itu. Mengirimkan kilat cahaya permusuhan lewat manik matanya yang hitam legam.

"Bekas gue Dit, lo nggak bakal suka kan? Bekas sahabat lo sendiri." kemudian ia tertawa, meremehkan.

BUG...BUG...BUG

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang