Dua Belas

3.5K 240 6
                                    

SUARA deru mobil berhenti tepat di depan pagar penginapan bulanan Fia, suasana sepi membuat suara mesin mobil terdegar nyaring baginya. Apalagi ia sengaja memilih kamar depan yang dekat dengan jendela. Ia menyikap tirai kamar, menyerngitkan dahi begitu melihat mobil yang berhenti kini ternyata mobil Aldo, ia begitu mengenali mobil kekasih sahabatnya itu. Hanya berbekal penerangan lampu jalan yang remang-remang, serta lampu di papan nama penginapan, Fia berhasil menangkap wajah manis Manda dan tatapan dingin Aldo. Meski Aldo berusaha menghiasi wajahnya dengan senyum sedemikian rupa, tetap saja Fia merasa, Aldo tengah menyembunyikan perasaan lainnya.

Sudah hampir setahun Fia dan Manda tinggal di penginapan yang sama, hanya saja mereka memilih kamar berbeda. Fia merasa rumahnya terlalu jauh dari kampus dan cafe in jika harus pulang-pergi setiap hari. Sedangkan Manda, memilih tinggal di sini sebab orang tuanya baru saja pindah ke Bandung.

Manda melambaikan tangan, setelah dipastikan mobil Aldo hampir menghilang dari jangkauan matanya ia berbalik dan masuk ke dalam. Fia menutup tirai kamarnya ketika dilihatnya Manda berjalan masuk.

Fia buru-buru keluar, menuju dapur penginapan mereka.

"Baru pulang?" sapa Fia, sambil mengisi air dalam panci kecil. Manda menoleh ke sumber suara, kamar Manda berada di dekat dapur, hingga suara Fia terdengar jelas dari sana. Manda tidak menoleh, ia hanya mengiyakan dengan suara pelan.

"Sama Aldo?" Fia masih bersikap santai, ia sibuk menghidupkan kompor, memasak air entah untuk apa.

Manda mengangguk, menatap Fia yang kini tengah memperhatikannya dengan punggung menyandar pada lemari dapur. Fia ikut mengangguk. Mereka berdua diam, lalu Fia tersenyum iba seraya menatap lembut ke arah sahabatnya itu.

"Salina gimana?" Fia bertanya lagi. Sudah siap dengan segala bentuk jawaban dari Manda.

"Udah tau."

Fia tertawa kecil, "Jadi udah bisa terang-terangan sekarang?" suaranya terdengar mengejek, meski sorot iba menembus tepat ke bola mata Manda.

"Fi..."

Fia kembali terkekeh, "Seharusnya lo lega dan bahagia, kan? Sesuatu yang lo tutup-tutupi dari dulu akhirnya bisa lo pampang nyata?"

Manda memahami benar makna sarkasme dari tiap kata-kata Fia. Ia tertusuk dengan ucapan Fia yang tumpul, sama sekali tidak tajam, tapi mampu menembus ulu hatinya. Fia memainkan kata-kata begitu lihai. Seolah-olah mendukungnya, tapi dengan halus menghakiminya. Fia yang marahnya begitu menawan, karakternya yang hampir mirip dengan Salina membuat Manda seolah tengah merebut kekasih dua orang saat ini.

"Seharusnya lo bahagia kan?" Fia mengulangi pertanyaannya.

"Iya lo bener, seharusnya gue bahagia." jawab Manda. "Seharusnya." lanjutnya, lirih.

Fia tersenyum, "Dan, lo bahagia?"

Manda tertohok, ia bingung harus menjawab apa. Dari pertama ia berkeras hati menjalin hubungan dengan Aldo, seharusnya ia bahagia mendapatkan laki-laki yang selama ini ia cintai. Tapi ternyata, rasanya berbeda. Seperti ada beban berat yang menghantamnya berkali-kali tiap menatap manik mata laki-laki yang kini menjadi miliknya.

Ada gelembung-gelembung udara di atas panci menandakan air sudah mendidih, Fia mematikan kompor. Menuang air panas itu ke dalam termos warna merah muda miliknya. Setelah menutup rapat tutup termos, ia berbalik lagi, menatap sahabatnya yang masih diam di depan pintu kamar.

"Ah, memangnya ada kebahagiaan bagi orang-orang yang merebut kebahagiaan orang lain?" suara dingin Fia tepat sasaran, memecahkan jawaban yang sudah Manda susun untuk menjawab pertayaan Fia barusan. Apa ia bahagia? Manda baru saja ingin menjawab bahwa ia bahagia, bagaimana pun juga, itu adalah keputusannya ketika memilih bersama Aldo. Tapi, Fia menghancurkan segala bentuk pembelaan dirinya, memangnya ada kebahagiaan untuknya setelah begitu lancang menghancurkan kebahagiaan Salina yang hanya sisa? Manda tidak tahu, ia hanya terluka ketika menatap bola mata Salina yang seolah berdarah-darah.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang