Tujuh

3.2K 247 7
                                    



Salina mengemasi barang-barangnya, menyambar tas laptop berwarna merah muda, tidak lupa memasukkan charger laptop beserta buku catatan pribadinya. Ia mengemasi pakaian dan beberapa keperluannya sehari-hari dengan asal, lantas berlari kecil meninggalkan kamar tercintanya.

Anita dan Erwin bersahutan menyerukan namanya, berusaha mencegah langkah Salina yang memilih tidak peduli dengan suara memohon mereka, seakan-akan ia menutup telinga dengan kedua tangannya. Gadis itu membuka kenop pintu ruang tamu, baru saja hendak keluar, suara berat Reza membungkam langkah Salina.

"Mau kemana lo?"

"Bukan urusan lo." jawab Salina, dingin.

"Urusan gue." Reza menarik lengan Salina, menahan adiknya yang sedang mengambil ancang-ancang pergi.

"Gue bilang bukan urusan lo." sahut Salina tajam. Kedua matanya yang bulat memelotot, menatap Reza penuh amarah.

"Gue bilang, ini urusan gue."

"Bang!" Salina memekik, kedua alisnya mengerut, hampir berhasil membuat keduanya menyatu.

"Gue anterin kemana pun lo mau, dengan syarat, lo cerita semuanya." Reza menarik tas ransel Salina, membopongnya ke mobil hitam Reza yang ia parkir di halaman rumah mewah mereka.

Salina tidak diberi kesempatan menjawab, gadis itu terpaksa mengikuti langkah Reza, kakak laki-lakinya. Meski dalam hati ia bertanya-tanya, laki-laki yang selalu berusaha melindunginya itu kakak kandung atau kebohongan Mama dan Papanya lagi?

"Lo mau kemana?"

"Gue nggak tau."

Reza melirik sebentar, "Kabur tanpa tujuan bukan pilihan yang bagus, menurut gue."

"Tapi gue nggak lagi kabur, Bang."

"Terus?"

"Itu bukan rumah gue."

Reza mengangguk, "Rumah itu juga bukan punya gue."

Salina berdecak kesal, bola matanya berputar. Gadis itu melirik Reza malas.

"Maksud gue bukan gitu."

"Jadi?"

"Emm, yang jelas, gue nggak mau pulang ke rumah itu."

Reza mengulurkan tangannya, menyentuh puncak kepala Salina, mengacak-acak seenaknya. Berhasil membuat adiknya itu menggerutu kesal.

Salina menepis tangan Reza, menopang dagunya dan mengalihkan kepala. Salina memilih asyik menikmati apa saja yang ada di balik jendela, mendiamkan kakak laki-lakinya yang fokus menyetir mobil tanpa tujuan.

Ponsel Salina berdering, ia melirik sebentar nama yang tertera. Benar saja, nama Aldo terpampang jelas di sana, entah apa yang terjadi padanya, ia mendadak malas mengangkat panggilan Aldo. Salina paham, semakin didiamkan, ponsel itu akan semakin berdering. Untuk beberapa hal, Aldo adalah laki-laki keras kepala. Salina melirik Reza yang masih sibuk memperhatikan jalan, lalu menggeser layar ponselnya, selanjutnya suara berat khas Aldo menodongnya dengan berbagai pertanyaan.

"Aku di jalan..."

"Kamu nggak papa kan?"

"Dengerin dulu..."

"Aku nggak papa, aku lagi jalan-jalan. Kamu nggak usah khawatir, aku sama Bang Reza kok, Al."

"Berhenti khawatir berlebihan, aku nggak papa."

"Berlebihan kamu bilang?"

"No, maksud aku bukan gitu..."

Tut...tut...

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang