Dua Puluh Sembilan

3.4K 275 20
                                    

Dua Puluh Sembilan: Melebur Cinta

***

Ada obat-obatan di meja kamar Anita. Beberapa tablet obat ada yang jatuh berserakan di bawah lantainya. Suasana sepi rumah menjadi santapan sehari-seharinya, hingga pada kesendirian ia kenyang dan hilang dahaga. Anita tertawa kecil setelah meneguk sekaligus obat-obatannya, yang memaksa terlelap lagi dan lagi tiap kali terluka dan ingin marah.

Salina tak jua ingin pulang. Erwin masih saja acuhnya. Sedang Reza, baginya tetap anak malaikat yang diutus Tuhan untuk memanggilnya Mama dan selalu mendengarkannya.

Pintu utama dibuka tanpa salam, derap langkah itu begitu dikenalnya, tapi ia tak kuasa melongok ke depan, ia biarkan siapa saja masuk. Ia merasa tidak punya apa-apa, tidak ada lagi yang bisa diambil darinya. Kehilangan cinta ternyata lebih buta dari kehilangan harta. Hilang segala waras dan tawanya, lebur bersama langkah kaki menuju pergi orang-orang yang ia cintai.

Anita tidak punya kekuatan apa-apa lagi untuk menahan mereka tetap disisinya dan tidak pergi.

"Ma," lirih suaranya menembus indra pendengaran Anita yang masih mampu mendengar, meski sedikit kantuk mulai semerbak mengkaburkan pandangannya.

Ia mengerjap, menahan agar matanya jangan sampai terpejam. Mendengar suara Salina seperti halusinasi, ia jengah, menepis berulang-kali, benarkah yang saat ini ia dengar, Salina atau hanya ilusi?

"Salina Ma, Lina pulang." serak, gadis itu menghampiri Mamanya.

Hari ini, biarkan sekali saja Salina mengakui bahwa Ibu baginya adalah perempuan paruh baya yang merawatnya penuh cinta meski tak ada darah yang sama. Ibu baginya adalah seorang perempuan paruh baya yang dengan anggunnya menyapu tiap luka dalam benak dan fisiknya. Ibu baginya bukanlah perkara lahir dan tinggal dari rahim yang sama, sebab Ibu baginya lebih sakral dari sekedar itu. Ibu baginya adalah Anita. Tidak ada yang lain. Bahkan setelah Mira dan Manda mengacaukan pikirannya. Ia tetap meng-Ibukan Anita, apapun dan siapapun dia.

"Lina, sini sayang..."

Salina menghambur peluknya, mendekap tubuh ringkih yang entah sudah berapa hari tak makan sesuap nasi. Memeluk erat Anita, menumpahkan tangis dan rindunya dalam dekapannya yang hangat. Mereka saling melempar tangis, hingga kata-kata dirasa tak perlu lagi menjelaskan. Baik Anita dan Salina sama-sama bicara lewat dekap.

"Lina, anak Mama." lirihnya.

Salina mengangguk, ia menghapus air mata Anita.

"Lina anak Mama ya Ma?" katanya semakin parau dengan kedua tangan terus menghapus air mata Mamanya.yang makin deras mengalir.

Anita mengangguk. Hilang bebannya. Hilang gundahnya. Anak-anaknya datang, anak-anaknya kembali. Mereka utuh lagi.

"Salina jangan pergi ya? Di sini aja ya sama Mama?"

Salina kembali mengangguk, ia mengangguk berulang kali, mengiyakan semua permintaan Anita. Ia mengangguk lagi dan lagi. Meyakinkan Mamanya, bahwa tidak akan ada aksi pergi lagi setelah ini, semua akan kembali. Mereka akan terus saling mendekap, hingga yang mengharuskan pergi hanyalah mati.

"Mama..." panggilnya berkali-kali.

Salina menyelimuti tubuh Anita. Ia biarkan Anita terlelap di sana, membenamkan segala rasa sakitnya, mengubur air matanya dan tidak akan ada lagi setelah Anita membuka mata.

Salina mengecup punggung tangan Mamanya, mengusap pelan dengan sisa-sisa air mata yang masih menetes. Lantas ia memunguti obat-obat yang menjadi tameng Anita bertahan, Salina menggigit bibir bawahnya, begitu banyak Mamanya itu menelan pil-pil pahit demi ketenangan hidupnya. Sungguh penderitaan yang bahkan Anita tak sanggup membayangkan. Ia yang kurang perhatian, di matanya saat itu, Anita yang gila cinta hanya takut kehilangan Papanya. Padahal jauh di balik itu, Anita juga takut kehilangan Salina dan Reza. Anita takut kembalinya wanita itu akan merenggut seluruh kebahagiannya di rumah ini.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang