Dua Puluh Delapan

3.1K 287 29
                                    

Untukmu yang betah menunggu cerita ini, tampaknya ucapan terima kasih tak cukup luas mengisyaratkan betapa aku mencintaimu. Untukmu yang betah menunggu kisah ini, tampaknya permintaan maaf terlalu kecil masuk ke dalam dadamu yang lapang. Selamat membaca, selamat menempuh jalan-jalan terakhir cerita ini. Semoga suka dan semoga tak membekaskan trauma.

Ada setidaknya dua-tiga bagian lagi, maka cerita ini selesai.

*

Dua Puluh Delapan: Menguak yang Ada, Menyembuhkan Luka

***

SALINA meminta supir taksi untuk berhenti tepat di sebuah restaurant yang khas dengan nuansa alam, dari pintu gerbang sudah di suguhkan parkiran yang luas dengan gazebo-gazebo berjajar di depan pintu utama. Tempat makan yang luas namun terkesan sejuk dan alami ini menambah minat penggiat kuliner di tengah ibu kota yang sarat dengan cuaca panas dan kemacetan.

Salina segera masuk tanpa salam ke ruangan sebelah dapur, di pintu tertera tulisan bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk. Salina bahkan tak sempat membaca apapun di sana, ia hanya ingin bertemu Reza di ruangannya.

Reza mengangkat kepalanya begitu mendengar suara pintu di buka, raut wajahnya yang heran dan penuh tanda tanya, siapa yang berani membuka pintu ruangan pribadi Reza tanpa ketukan sebelumnya?

Begitu wajah adiknya yang kusut terlihat muncul dari balik pintu, Reza mengerutkan dahi. Untuk pertama kalinya setelah keadaan rumah yang berantakan, Salina mengunjungi tempat kerjanya lagi.

"Lin?"

Salina menatap Abangnya itu dengan penuh pertanyaan yang membuatnya bingung sendiri. Pertanyaan apa yang harus ia lontarkan pertama kali. Atau penjelasan apa yang ingin ia dengar dari Abangnya?

"Ada apa?"

Salina berjalan mendekat, "Manda..."

Reza mengerutkan kening, ia masih tak dapat menangkap maksud dari adiknya itu. Reza diam sebentar, menunggu sampai gadis itu tampak siap menjelaskan.

"Manda sepupu kita."

Salina menggeleng, "Eng... Maksud gue, Manda, dia, dia tinggal bareng sama..."

"Sama siapa?"

Salina kembali menggeleng, "Sama dia."

Reza bangkit berdiri, lalu menghampiri Salina dan menyuruh adiknya itu untuk duduk di kursi tamu yang sudah disediakan. Salina menurut, ia segera melangkah ke arah yang dituju Reza.

"Lo tenangin diri dulu, baru jelasin ke gue, maksudnya gimana. Oke?"

Suara Reza terdengar menenangkan. Salina menyambar kemasan gelas air mineral yang tertata rapi di tengah meja. Ia meneguknya setengah, membuang napas, lantas kembali menatap Reza.

"Ibu kandung kita..."

Mendengar setengah kalimat itu keluar dari bibir Salina, Reza membelalak kaget.

"Dia tinggal bareng Manda."

Reza tahu Manda adalah salah satu teman Salina. Tapi Reza tidak menyangka kalau wanita licik itu akan melangkah sejauh ini. Reza tidak habis pikir, bisanya wanita itu mengirim seseorang untuk menjadi teman main Salina.

"Gue tau dari Manda, dia sendiri yang bilang." seakan tahu apa yang nantinya ditanyakan Reza, Salina lebih dulu menjelaskan.

Reza mengusap dagunya, masih tidak paham pada alur cerita yang dibawakan semesta untuk kehidupannya. Masih tidak habis pikir pada permainan hidup yang sembunyi di balik kata kebetulan.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang