Empat

3.9K 247 12
                                    

Lantunan lagu Kabar Terakhir dari Mustache and Beard, band indie asal Bandung favorit Salina menggema di kamar miliknya. Dinding kamar bercat biru muda berpadu dengan putih tulang itu menambah lengang suasana malam. Tampak kilatan cahaya bintang yang malu-malu berpijar dari jendela kaca Salina, gorden berwarna putih tulang itu sengaja ia singkap hingga sesekali binar matanya yang cantik beradu dengan cahaya bintang yang remang-remang.

Dari tadi gadis cantik itu menolak terpejam, sekedar menyelam alam bawah sadarnya ia enggan. Isi kepalanya merengek, memohon pada Salina agar terjaga. Deru mesin mobil tiba-tiba berhenti di depan rumahnya, disusul pintu gerbang mewah itu berdecit. Laki-laki paruh baya berseragam keamanan membukakan gerbang utama. Mobil mewah yang Salina hafal betul plat nomornya melaju pelan. Salina mendengus sebal, lantas ia tutup kasar gorden yang sedari tadi ia biarkan memamerkan malam. Gadis itu menjatuhkan kasar tubuhnya, berbaring dengan kedua telapak tangan menutup penuh wajahnya.

Suara serak-serak basah Mama Salina, Anita, samar-samar menerobos indra pendengarannya. Berkali-kali gadis itu mengerjapkan mata seraya menarik napas dalam agar setidaknya tidak tergoda untuk mendengarkan percakapan kedua orang tuanya yang bisa ia pastikan berakhir pertengkaran.

*

"Permisi?"

Seorang pemuda dengan jaket jeans kumal tengah mengangkat tangan, memanggil salah satu dari mereka yang tengah berjajar santai di depan kasir. Fia menyikut lengan Ayumi, melempar kode agar Ayumi saja yang menghampiri pemuda itu. Ayumi mengangkat wajahnya, lalu mengangguk yakin.

Dengan senyum yang dibuat sedemikian rupa agar terlihat ramah, Ayumi menyodorkan buku menu milik Cafe In. Berdiri dengan percaya diri menunggu pemuda itu menyebutkan pesanannya.

Pemuda itu mengangkat wajahnya.

"Mau pesan apa?" dengan hati-hati Ayumi bertanya.

Ia berdehem, "Kopi hitam, satu. Jangan terlalu manis ya." jawabnya, santai.

"Baik, ada lagi?"

"Sementara itu dulu."

Ayumi mengangguk, "Mohon ditunggu, terima kasih."

Setelah pesanan benar-benar siap di meja pantri, Adam memanggil Salina, menyodorkan nampan plastik ke arahnya. Dengan memajukan dagunya, Adam menunjuk pojok kafe. Meminta Salina mengantarkan pesanan ke sana. Gadis itu mengiyakan, lalu mengikat rambutnya asal. Menghampiri pemuda tadi dengan sebelumnya mengeratkan tali celemek motif bunga pastel kepunyaannya.

Salina tersenyum ramah, "Permisi, Kak."

Usai meletakkan secangkir kopi dengan air putih dalam gelas berukuran kecil, Salina mendekap nampannya erat.

"Pesanannya sudah semua ya, Kak. Ada yang bisa dibantu lagi?"

Pemuda itu menggeleng, disusul anggukan mengerti Salina. Lantas gadis itu melangkahkan kakinya, bersiap dengan pesanan dari meja lain. Langkahnya terhenti begitu suara berat milik pemuda itu berseru tiba-tiba, Salina membalikkan badannya, menyambut panggilan tersebut dengan senyum khasnya yang manis.

"Saya minta kopinya jangan terlalu manis." suaranya dingin, menembus indra pendengaran Salina. Ia menganga, untuk pertama kalinya gadis itu menerima protes.

"Mbak?"

Mbak, Salina menggerutu dalam hati. Lantas ia buru-buru sadar.

"Maaf... "

"Tolong, diganti."

Salina menelan ludahnya, gadis itu kembali mengangguk. Mengangkat dengan sopan cangkir kopi yang bahkan isinya masih terlihat utuh.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang