Delapan Belas: Izinkan Saya
JARUM jam tepat menunjukkan pukul 21.30 malam, cafe in juga menjelang tutup. Mereka masih menunggu sampai pengunjung benar-benar menghabiskan sisa makanan mereka. Andre dan Adam sudah merebahkan tubuh dari tiga puluh menit yang lalu, pasalnya pukul 21.00 kafe mereka sudah tidak menerima pesanan lagi. Sementara Fia, Ayumi dan Salina merapikan dapur dalam agar tak mengundang tikus-tikus nakal untuk datang berkunjung. Damar hanya menunggu di kasir dengan tangan menumpu dagu, menunggu dengan setengah menahan kantuk.
Setelah benar-benar kosong dan merapikan meja-meja bekas pengunjung menyantap makanan, mereka bergegas pulang.
"Lo beneran nggak papa pulang sendiri, Lin?" tanya Adam memastikan, ia memang yang paling khawatir dengan sahabat-sahabat perempuannya.
"Nggak papa, kos gue deket kok." jawab Salina meyakinkan.
"Tapi udah malem lo, sepi juga, gue takut ada yang ngikutin lo." sahut Adam sembari menyambar tas dan memasukkan barang-barang yang sempat berantakan. Salina terkekeh mendengar suara cemas Adam yang baginya sesuatu yang khas dari laki-laki itu. Dari ketiga sahabatnya, Adam lah yang paling mirip dengan Reza. Meski cara mereka menunjukkan kekhawatiran sedikit berbeda. Adam akan bertanya terus menerus, sementara Reza akan memaksa dan tidak menerima penolakan.
"Gue anter aja deh," sahut Andre, mengangkat kunci motornya. Adam menggeleng, tidak menyetujui tawaran Andre.
"Sama gue aja, kan searah." tawar Adam. Mereka sudah paham bahwa Salina tidak lagi tinggal bersama orang tuanya, meski alasan Salina pindah tidak ada yang mengerti. Hanya sebatas kecurigaan Fia dan Ayumi bahwa masalah keluarga yang menjadikan Salina memilih tinggal sendiri.
"Sama gue juga boleh." sahut Damar begitu selesai mencuci tangan dari wastafel dalam. Salina tersenyum lebar, ketiga laki-laki yang membuatnya selalu merasa dilindungi. Salina sering memanggil mereka dengan sebutan tiga jagoan, mereka akan berusaha melindungi sahabat-sahabat perempuannya seperti adik mereka sendiri.
"Lo anterin gue aja Mar, kan tiap hari lo lewat rumah gue." Damar menoleh cepat ke arah Ayumi, lalu mencibir tak terima.
"Biasanya lo sendirian nggak papa tuh, lo modus ya?"
"Apaan sih lo garpu mie gelas, gue cuma minta tolong. Elah lo pilih kasih banget dah!" pekik Ayumi tak terima mengundang tawa dari semuanya. Bahkan saat hendak pulang saja mereka masih sempat adu mulut.
"Heh kecoak jengking, kan gue cuma nanya, kenapa lo sewot?"
"Ya lo kenapa bilang gue modus?"
"Ya udah sih kalo nggak modus bilang aja enggak."
"Ya emang enggak."
"Ya udah, jadi nggak?"
"Mau nganterin gue?"
"Gimana sih lo, jadi nggak nih?" tanya Damar kesal, lalu melangkah menuju rak helm di samping pintu keluar.
Ayumi menganga, "Eh, iya iya jadi!" lalu Ayumi merapikan sekali lagi pakaiannya. Lantas gadis itu menyambar jaket yang ia letakkan seenaknya di atas sofa dan berlari kecil menyusul Damar.
Setelah menghampiri Damar yang masih mengaitkan sabuk kecil pelindung helm di bawah dagu, Ayumi berdiri di hadapan Damar dengan tampang sok sumringah, melihat Damar selesai mengenakan helm miliknya, lantas Ayumi menunduk dan membungkukkan badannya. Damar menyerngitkan dahi, tidak paham dengan maksud kelakuan Ayumi. Merasa diabaikan, Ayumi kembali menegakkan badan lalu menatap Damar sambil menahan kesal. Gadis itu mengulangi gerakannya, membungkukkan badannya di hadapan Damar.
Damar masih tidak paham, "Lo kenapa sih, Yum?" tanyanya.
Ayumi lagi-lagi menegakkan badannya begitu mendengar pertanyaan Damar, ia menelan ludahnya, lalu membuang napas kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salina
Romance[LENGKAP] Hidupnya nyaris sempurna bagi siapa saja yang melihat dari luar potret kehidupannya. Salina Elira, anak bungsu dari pemilik perusahaan ternama, memiliki kakak laki-laki super penyayang, sahabat-sahabat setia juga kekasih yang tak kalah lua...