Dua Puluh Lima

3K 255 12
                                    

Untuk pembaca ghaibku, terim kasih! Untuk pembaca nyataku, terima kasih! Untuk yang baru membaca, terima kasih!
Jangan lupa apa? BACA BISMILLAH!!! Pinter.....

***

Dua Puluh Lima: Jangan Datang II

***

IBRA menurunkan ponselnya, menatap nanar dari atas motor kepada raut wajah Salina yang datar menolak panggilannya. Ibra menatap punggung gadis itu yang perlahan masuk dan menghilang. Beberapa kali panggilannya ditolak sepihak, ia tersenyum getir, tidak tahu alasannya. Melihat dari ekspresi Salina, ia menduga, mungkin gadis itu hanya lelah dan ingin istirahat.

Saat Ibra mencoba menghubungi lagi, nada sambung berganti dengan suara operator yang mengatakan bahwa ponsel Salina sedang tidak aktif. Ibra menghela napas panjang, ia menggigit bibir bawahnya, lantas mengusap wajahnya pasrah. Selanjutnya, pemuda itu kembali memasang helm dan mengaitkan pengamannya, lantas berlalu meninggalkan kos-kosan Salina dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat ia temukan jawabannya.

*

Keesokan hari, setelah turun dari mobil Reza, Salina melambai lalu menjulurkan lidah saat Abangnya itu hendak pamit untuk segera berlalu.

"Hati-hati!" teriak Salina. Reza mengangguk dari balik kaca mobil, ia kembali melajukan mobil dan beberapa detik berikutnya, bayang-bayang mobil Reza mulai menghilang dari penglihatan Salina.

Salina tersenyum samar, ia merapikan posisi tas jinjing warna biru dongker miliknya, lalu berjalan santai memasuki gerbang yang terletak di bagian samping kampusnya. Baru beberapa langkah, ponselnya kembali berdering setelah semalaman ia matikan. Salina merogoh ke dalam tasnya, mencari ponsel pintar itu dan langsung menariknya keluar.

Ia membuang napas begitu melihat nama yang tertera di sana, tanpa berniat mengangkat, gadis itu mematikan panggilan seenaknya.

"Kenapa nggak diangkat?" suara berat itu tiba-tiba muncul dari belakang. Salina sempat terlonjak kaget, kemudian ia berusaha menyembunyikan ekspresi terkejutnya dan membalikkan badan.

Ibra berdiri di belakangnya dengan ponsel masih menempel di telinga. Lantas pemuda itu menurunkan ponselnya dan memasukkan ke dalam saku. Ibra berjalan beberapa langkah mendekati gadis itu, ia menatap Salina dengan tatapan penuh pertanyaan yang memaksa jawaban. Salina hanya membalas tatapan itu tanpa ekspresi, seolah-olah tidak ada yang perlu dijelaskan. Ia sudah lebih dulu menabahkan hati, jika memang kisah cintanya harus berakhir seperti ini untuk kedua kali. Paling tidak, kali ini, ia tak berjalan terlalu jauh.

Salina menggeleng, ia hendak berbalik arah, tapi lagi-lagi Ibra mengeluarkan suara berusaha menahan langkah Salina.

"Kenapa?" tanyanya pelan. Ibra kehabisan kata-kata, ia bahkan tidak paham apa yang terjadi. Ia tak paham harus membaca ekspresi Salina dengan cara apa.

Salina hanya menggeleng. Bukan itu yang Ibra harapkan, ia berharap Salina mengangkat suara dan menjelaskan apa yang terjadi.

"Kamu masih belum bisa percaya saya?" tanya Ibra akhirnya. Salina menunduk sebentar, lalu terkekeh, ia menertawakan dirinya sendiri, ternyata, begini rasanya melihat pendusta berbicara di hadapan seseorang yang mengetahui belangnya? Sungguh mengejutkan.

"Nggak ada yang perlu dipercaya." jawab Salina datar.

"Salina, saya nggak main-main."

"Gue juga nggak ada waktu untuk main-main." sambar gadis itu. Ibra menganga, bola matanya melebar, pemuda itu terkejut dengan perubahan kata yang Salina gunakan.

"Salina..."

Salina mengangkat sebelah tangannya, memberhentikan dengan sepihak pembicaraan ini. Ibra diam, ia membasahi bibirnya, lantas menghela napas pelan. Salina menatapnya tanpa perasaan, lalu gadis itu kembali membalikkan badan.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang