Tiga

4.6K 279 4
                                    

Cafe in sore ini tidak begitu ramai, hujan lebat yang mengguyur seluruh isi kota tumpah ruah bersama kenangan penikmatnya. Fia menopang dagunya di atas meja kasir, bola mata coklat tua dengan bulu mata lentik itu mengerjap antusias menikmati suara hujan yang mengalahkan musik di dalam kafe, padahal musik itu sengaja diputar dengan volume keras. Salina menepuk pundak Fia kasar, gadis itu berjingkat kaget lalu menggerutu kesal begitu mendengar sahabatnya terkekeh geli. Adam sibuk meracik pesanan cappucino pelanggan. Setelah selesai, Adam memanggil Manda untuk mengantarkan pesanan itu ke sofa di pojok kafe. Manda mengehela napas pelan, baru saja ia membuka bibirnya lebar-lebar, bersiap menyantap kue keju kesukaannya yang ia ambil dari etalase di samping kasir, Adam sudah teriak-teriak memanggil namanya. Menggagalkan rencana Manda untuk memanjakan perutnya yang dari tadi berdendang.

"Lin, lo beneran nggak papa kan?" Fia berbisik, mendekati Salina yang kini berbaring santai di sofa.

"Emangnya, kenapa?" Salina balik bertanya.

Fia berdecak, "Kan, kalo ditanya suka sok-sokan nggak ngerti apa-apa."

Salina terkekeh, "Tapi gue beneran nggak ngerti maksud lo apa?" jawab Salina, kini gadis itu memejamkan matanya, meresapi bunyi sisa-sisa air hujan yang jatuh dengan bau tanah yang semerbak menenangkan. Salina menyukai itu, baginya, selain pelukan Ibu aroma hujan yang bercampur dengan tanah juga menenangkan dadanya.

"Lo keliatan nggak baik-baik aja, Lin."

"Emangnya gue pernah baik-baik aja ya?" sambar Salina. Semenjak Papanya sibuk dengan wanita lain, Salina merasa dunianya perlahan retak hingga menunggu kapan tiba waktunya hancur.

Fia menatap sahabatnya itu iba. Ia paham masalah keluarga yang menimpa Salina. Tapi untuk hari ini, ia melihat sorot mata sendu Salina yang tidak biasa. Merasakan getir senyum Salina yang mendadak membuatnya ingin memeluk sahabatnya dalam-dalam.

"Kayanya lo butuh dipeluk deh." Fia merentangkan tangannya

"Seharusnya lo peka, gue cuma butuh dipeluk tanpa ditanya kenapa. Pertanyaan itu udah basi, lo pasti ngerti gue lagi nggak baik-baik aja."

Salina membuka matanya, tersenyum getir, ia mengubah posisinya. Menatap kilat bola mata Fia yang menyejukkan berhasil membuat Salina merasa dipedulikan.

Salina membalas rengkuhan Fia hangat. Manda yang tiba-tiba datang menubrukkan tubuhnya ke arah mereka.

"Berpelukaaan." teriaknya, lucu.

"Aduh, Man, gue nggak bisa napas."

"Man, Man, ah elo mah, gagal romantis kita!"

Manda justru mempererat rengkuhannya. "Man, gue..nggak...bisa...napas, hukk..huk..." Fia memekik dengan setengah batuk-batuk. Salina menyumpahi Manda, mengutuk gadis itu dengan doa-doa yang berhasil membuat Manda melepaskan pelukannya.

Adam yang menyaksikan aksi mereka hanya geleng-geleng kepala. Meski sudah berusia dewasa, sahabat-sahabatnya itu masih sering bertingkah seperti anak-anak.

***

"Bu Anita, saya sudah berusaha mencari tahu di mana tempat tinggal wanita itu. Tapi sampai sekarang belum saya temukan. Maaf, saya..."

"Saya tidak mau dengar apapun selain di mana wanita itu bersembunyi." tegas Anita, suaranya dingin membekukan. Novi memejamkan matanya, menggigit bibir bawahnya dan mengangguk mengerti.

"Baik, saya mengerti."

Anita mengangguk. Pikirannya kosong, tenggelam bersama kenangan yang menyiksanya perlahan tanpa sayatan. Erwin memang tidak menghantamkan belati ke dadanya, tapi langkah kaki yang mengharuskan laki-laki itu pergi berhasil melemahkan pertahannya pelan-pelan. Pikirannya melayang, wanita itu masih ingat dengan jelas saat pertama kali ia menatap binar bola mata laki-laki yang sangat ia cintai. Tatapan meneduhkan yang ternyata samar-samar menyerbakkan ilusi. Ilusi yang ia percaya adalah cinta, hingga menjadikan Anita yang tangguh menjadi lemah dan menggila.
Erwin Erlangga, laki-laki biasa yang ia temui di salah satu rumah makan sederhana tengah sibuk menyiapkan hidangan untuk tamu-tamu yang datang. Dibantu beberapa pelayan lainnya, Erwin mengantarkan nampan berisi pesanan pelanggan. Lalu langkahnya berhenti tepat di meja kayu berukuran besar dengan tatapan kelaparan. Begitu sadar Erwin datang dengan senyum ramah, hampir semuanya memekik girang karena pesanan mereka datang.

SalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang