Kafe yang terletak di pinggir jalan besar sekitar kampus mereka memang hampir setiap hari ramai pengunjung. Pasalnya, selain asyik dijadikan tempat nongkrong sampai tempat mengerjakan tugas, kafe ini juga menawarkan menu dengan harga yang cocok di kantong Mahasiswa yang kebanyakan adalah anak kos. Kafe bernuansa klasik hitam putih, dengan menu andalan berbagai macam kopi. Cafe in, dengan keramahan Salina dan teman-temannya dalam tahun pertama buka kafe ini sudah banyak digandrungi Mahasiswa. Hingga pada tahun kedua mereka sepakat untuk membeli kafe ini, hingga sepenuhnya menjadi milik mereka.
"Pagi, Dam, Man." sapaan selamat pagi Aldo menjadi pengunjung pertama pada hari ini, disambut senyuman hangat Manda yang sibuk merapikan meja, dan anggukan kepala Adam yang masih sibuk di pantri.
Salina mengangkat wajahnya, buru-buru bangkit, mengibaskan roknya dan merapikan kilat. Ia menyeka anak rambut yang menutupi mata cantiknya, melirik Adam sebentar dengan menggigit bibir bawahnya. Sebelah alis Salina mengangkat, Adam menangkap kode dari gerik sahabatnya itu kemudian ia terkekeh geli.
Adam mengacungkan jempol, lalu geleng-geleng kepala memperhatikan sahabatnya selalu bertingkah lucu jika Aldo menemui Salina. Tingkah Salina selalu membuatnya geli, pasalnya gadis itu terlihat seakan-akan baru saja menjalin hubungan dengan Aldo, padahal keduanya sudah berpacaran hampir dua tahun.
"Hai." Sambar Salina.
"Handphone kamu kenapa mati?"
"Aku...."
"Kamu nggak papa, kan?"
Salina mengerutkan kening, "Kamu ini lebay banget sih, aku nggak papa. Handphone aku mati karna chargernya ketinggalan di sini." jelas Salina, lalu tersenyum lebar.
"Really?"
"Sayang, aku baik-baik aja. Serius."
Aldo mengangguk percaya. Salina terkekeh geli, lalu bangkit berdiri.
"Kopi? Aku yakin kamu butuh asupan gara-gara terlalu khawatir sama aku. Iya kan?" katanya menggoda, Aldo membuka bibirnya, menatap Salina gemas lalu mengangguk pelan. Salina mengangguk mengerti, kembali terkekeh pelan sebelum meninggalkan Aldo sendirian.
"Nih, minum dulu." Salina menyodorkan secangkir kopi hitam sesuai kesukaan Aldo, kopi hitam tanpa gula.
"Jangan bikin khawatir lagi." sahut Aldo sebelum menyesap kopinya.
"Jadi kamu beneran khawatir?" goda Salina jahil. Aldo terkekeh, tangannya refleks mengacak-acak rambut Salina. Berhasil membuat gadis itu menggerutu sebal seraya merapikan rambut panjangnya.
Sementara keduanya asyik mengobrol, Fia datang dengan gaya khasnya yang ceria dan manis. Menyapa satu persatu yang ada di kafe sejak pagi tadi, tidak lupa menyapa Aldo yang sudah mereka anggap bagian dari sahabat mereka. Aldo mengacungkan jempol, lalu tersenyum lebar.
"Fi, kayanya tadi gue masak nasi kematengan deh, coba lo cek." seru Manda yang kali ini asyik mengotak-atik handphonenya sambil menunggu pengunjung lainnya datang. Fia melirik tajam, lalu mendengus kesal. Baru datang belum sampai lima menit Manda sudah memintanya memasak nasi. Bagi Manda tidak ada yang bisa memasak nasi dengan hasil sempurna seperti Fia. Manda juga sering menggoda Fia dengan sebutan ibu rumah tangga yang baik. Sebab Fia jago sekali dalam urusan masak-memasak.
"Kentang udah dikupas, Lin?" teriak Fia, lalu nyengir malu-malu ke arah Aldo.
"Udah belom ya, gue lupa." jawab Salina, setengah memutar badannya.
"Elo kalo ada cemewew lupa deh segalanya." sambar Adam, yang sedari tadi sibuk memilih-milih lagu yang bagus untuk diputar.
"Gara-gara kamu nih, ke sini pagi-pagi." sambar Salina, menggoda Aldo. Aldo menatap Salina, menyerngitkan alisnya lalu mengangguk ragu.
"Kalau aku nggak ke sini, kamu yang kangen." jawab Aldo, lalu mengedipkan sebelah matanya genit. Salina menyerngit geli, lalu membuang mukanya.
"uuuuh, kangeeen." teriak Fia dari dalam dapur, lalu bergidik geli dan tertawa nyaring karena ucapannya sendiri. Di susul tawa Adam dan Manda. Aldo terkekeh geli, lain dengan salina yang mendengus kesal.
"Kamu kangen nggak sama aku?" tanya Fia, menatap Adam mesra.
"Apaan sih Fi, jijik gue." sahut Adam telak, berhasil mengundang tawa semuanya tanpa terkecuali Salina.
***
Langkah kaki terburu-buru yang berhasil mengundang suara dentuman keras berasal dari sepatu yang beradu dengan lantai marmer rumah mewah ini membangunkan tidur Anita. Pintu kamarnya terbuka, hingga kilatan cahaya lampu ruang tengah masuk ke dalam kamarnya yang gelap gulita. Anita menyipitkan mata, bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar.
"Erwin?" serak-serak suaranya memanggil. Anita yang saat itu tak beraturan dengan gontai menghampiri laki-laki itu.
Laki-laki yang dipanggil Erwin menoleh, menatap Anita santai tanpa dosa.
"Mau kemana?" lirih Anita, kedua matanya berkaca-kaca.
"Berapa tahun kita bersama, kamu masih menanyakan saya mau kemana?" sahut Erwin ketus, lalu kembali melangkah.
"Ke wanita yang....."
"Berhenti menghina dia, dia tidak sehina yang kamu kira."
Anita tersenyum miring, gontai mendekati Erwin, "Wanita yang kamu anggap suci itu, sudah menghancurkan sesuatu yang saya sebut rumah." bisiknya, tajam.
"Apakah menghancurkan sesuatu yang orang lain bangun dengan mati-matian itu tidak pantas disebut hina?" Sahut Anita lirih, berhasil membuat Erwin menghentikan langkahnya.
"Cukup."
"Jawab, Erwin."
"Anita, cukup."
"JAWAB!" teriak Anita, air mata yang berusaha ia tahan akhirnya jatuh tanpa perlawanan.
Erwin membalikkan tubuhnya, menatap Anita dengan amarah yang bertambah-tambah. Wanita anggun yang dulu pandai memadukan penampilan hingga terlihat sempurna itu kini benar-benar kacau. Rambut panjang yang sengaja ia warna coklat gelap terurai berantakan. Erwin menatapnya tajam, tangannya mengepal, menahan agar setidaknya tidak ada kekerasan di rumah ini.
"Dia, salah memilih kamu." sambar Anita, pelan. Air matanya masih menetes, membahasi pipi sampai bibirnya yang pucat pasi tanpa olesan pewarna.
Erwin mengembuskan napasnya keras, lalu membalikkan badan, melangkah meninggalkan Anita yang menatapnya tajam. Air mata Anita terus mengalir, bibirnya bergetar. Anita memejamkan kedua matanya, merasakan perih dalam dadanya yang berkali-kali membuatnya meneguk minuman memabukkan yang berhasil menghilangkan kesadarannya. Kedua lututnya lemas, ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, mengatur napasnya yang menggebu-gebu.
"Kamu tidak punya apa-apa, kamu tidak akan punya apa-apa." bisik Anita tajam.
"Bu Anita, Ibu baik-baik saja?" Novi, asisten pribadi Anita yang baru saja datang terkejut melihat keadaan atasannya, kemudian ia membantunya berdiri. Anita mengangguk, berjalan pelan dengan bantuan Novi menuju sofa ruang tengah mereka.
"Tolong cari tahu, dimana wanita itu tinggal!"
Novi mengangguk mengiyakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Salina
Romance[LENGKAP] Hidupnya nyaris sempurna bagi siapa saja yang melihat dari luar potret kehidupannya. Salina Elira, anak bungsu dari pemilik perusahaan ternama, memiliki kakak laki-laki super penyayang, sahabat-sahabat setia juga kekasih yang tak kalah lua...