Two : Stressed Out

4.1K 275 2
                                        

    Vania menghentak-hentakkan kakinya kesal. Seenaknya sekali si Fabian itu memutuskan sambungan teleponnya. Mana pulsa mahal lagi!

    Vania menggeram kesal sambil terus mengumpatkan kata-kata hinaan untuk Fabian. "Dasar kacang lupa kulit! Dasar ikan lupa air! Dasar burung lupa celan--eh, langit! Gue doain burung lo nggak balik ke tempatnya baru tau rasa lo, Fabian! Ihhh! Ngeselin banget, elah!"

    Vania terus meracau selama perjalananya pulang. Ia memutuskan pulang saja setelah ditolak mentah-mentah oleh Fabian. Vania juga tak memperdulikan tatapan aneh orang-orang di sekelilingnya, termasuk supir taksi yang sesekali meliriknya lewat spion.

    "Cantik-cantik kok sengklek?" Batin supir taksi tersebut diam-diam. Ia tak berani lagi menatap penumpangnya lewat kaca spion saat mendapati kedua mata itu memandangnya dengan tajam.

     Vania memutar bola matanya saat mengetahui jika supir taksi itu main mata dengan dirinya. "Lebih cepet, tolong!" perintahnya denga nada dingin dan dalam. Supir taksi tersebut mendadak gugup setengah mati saat ia menyadari jika penumpangnya ini layaknya iblis berupa malaikat.

    Benar-benar gila!

    Setengah jam kemudian, mereka pun sampai di kediaman Drewston. Vania membayar argo yang sesuai lalu melengos begitu saja masuk ke dalam pagar. Suasana hatinya masih buruk untuk menyerukan kedatangannya seperti biasa.

   Ia hanya membuka pintu dan membantingnya, lalu pergi ke ruang tengah dan menghempaskan dirinya di sofa. Nafasnya berhembus berat seolah-olah beban di hidupnya ini tak akan bisa ia atasi oleh manusia biasa seperti dirinya.

    "Aunty Vaniaaa!"

    Itu suara Sheyna. Keponakannya. Anak dari kakaknya, Brian. Mereka memang kebetulan sedang berlibur di sini selama sebulan mengingat jika Rania akan menikah kurang lebih beberapa hari lagi.

    Vania sebenarnya sedang sangat lelah baik fisik maupun batinnya. Tapi, ia tak mau mengecewakan gadis kecil berpipi gembul tersebut. "Hai, sweetie! How are you?" Balas Vania se-excited mungkin karena tak ingin merusak keceriaan gadis kecil itu.

    "Good! Doll.. Doll..", Sheyna menunjukkan boneka beruang berwarna putih kepada Vania.

   "Wahh, lucu, ya! Kayak kamu.." Vania mencubit pipi Sheyna gemas.

   "Aunty, sakit!" sungutnya kesal. Vania terkekeh. Kelakuan keponakannya tersebut sebelas dua belas dengan kakaknya, Brian, yang selalu protes jika ada yang menyentuhnya tanpa izin, apalagi cubit pipi.

   "Iya, iya. Aunty minta maaf. Papamu mana?"

   "Nggak tau." jawabnya cuek sambil memainkan boneka tersebut. Kebiasaan sekali kakaknya ini! Pergi tanpa pamit!

   "Sheyna? Ayo kita makan!" panggil Lilian. Sekarang jam 5 sore, waktunya Sheyna memakan buah-buahan segar.

    Sheyna cuek dan terus mengelus-elus boneka tersebut. "Eh, Vania? Hey! How was your day?" sapa Lilian yang datang dari arah dapur. "Fine, so so fine." balas Vania tak ada niat sama sekali. Harinya masih terasa menyebalkan jika boleh jujur.

   Lilian terkekeh. "Sabarlah! Kamu tahu? Jodoh tidak datang seperti food delivery yang sekali di-order kala diperlukan langsung datang ASAP. Jodoh itu terkadang harus ditunggu, diperjuangkan, dan dipertahankan. Tapi, menurutku kamu harus berjuang untuk mendapatkannya karena menunggu bukan lagi masanya untukmu," Lilian nyengir jahil.

    "Sial--"

    "Words, sweetheart. Aku tak mau Sheyna bermulut kasar," ujar Lilian dan membuat Sheyna menoleh. "Mulut kasar itu apa, ma?"

DA BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang