Sekarang weekend yang berarti udah sekitar 3 hari semenjak gue kembali ke rumah Papa dan Mama. Shawn gak ada kabar sama sekali. Dia tetep gak telepon gue balik dan gak ngebales pesan-pean gue.
Gue jadi khawatir?
Shawn kenapa?
Tapi, bodo banget gak sih gue buat mikirin kayak gitu? Shawn aja gak peduli keadaan gue dan si kembar, kenapa gue harus peduli sama dia?
Si kembar udah masuk 33 minggu. Air ketuban gue bisa pecah kapan aja dan mereka bisa keluar tiba-tiba, sedangkan gue belum siapin apa-apa di sini, kecuali beberapa baju, selimut, dan keperluan mereka yang gue ambil dari rumah Shawn sebelum minggat.
Dan satu tas perlengkapan bayi itu gak cukup untuk bayi kembar.
Belum popoknya. Belum kasurnya. Selimut dan baju-baju sama kaus tangan kaus kaki itu gak cukup cuma sepasang atau dua pasang dan gue gak bisa ambil banyak karena gak muat.
Gue juga masih mau mastiin kalau Shawn mau baikan lagi sama gue atau nggak sebelum gue belanja dan bener-bener mutusin untuk ngebesarin anak-anak gue tanpa Shawn di sini.
Nama.
Nama mereka juga gue belum kepikiran.
Kalau cewek mau apa. Kalau cowok mau apa. Gue belum kepikiran sama sekali. Gue juga harus mastiin nama belakang mereka. Apa mau pakai Drewston sama kayak marga keluarga gue atau Alexanders alias marganya Shawn.
Yang jelas, gue harus bicara dulu sama Shawn sekarang.
Tapi, gue gak bisa telepon dia terus karena gaakan diangkat.
Telepon kantor.
Shawn cinta sama perusahaannya sampai dia gak peduli mau sakit atau sehat pun tetep harus ke kantor. Iya, gue harus telepon asisten pribadinya.
"Alexanders Enterprise, Kevin is speaking. Who is this?"
Gue menghela nafas berat sebelum akhirnya bicara. "Hey, Kevin. It's.. Vania A-Alexanders."
"Ah, Mrs. Alexanders. May I help you with something?"
"Yeah. Can you line me in to Shawn? I- I mean, his phone is inactive."
"Sur--"
"But don't tell Shawn it was me! I.. i wanna make a surprise for him."kata gue gugup karena takut dia bakal nolak teleponnya.
"Alright, Mrs. Alexanders."
Telepon gue berbunyi beep sebelum akhirnya suara Shawn yang gue kangenin terdengar. Dingin dan profesional ketika dia bilang, "Shawn Alexanders here, who is this? Don't waste my time, please."
"S-Shawn.." lirih gue saat pandangan gue mulai kabur karena air mata.
"Vania." Jawabnya dingin. Gak ada lagi Shawn yang hangat. "What do you want?"
"Shawn.. I.. what happened to us?" Tanya gue sambil nyeka air mata gue. "Us? You sure there was ever an "us" between you and me?"
"What do you mean, Shawn? I am so lost!"
"Don't play stupid, Vania. I thought you were any different but shit. A bitch will always be a bitch."
"Shawn. I don't understand what you are talking about.."
"Bitch."
"S-shawn. W-what di-"
"Bitch, Vania. You are a bitch."
"How could you say this to me?!"gue udah gak bisa nahan tangis lagi ketika dia bilang hal itu dengan mudahnya ke gue, saat gue hamil anaknya dia.
"Of course, I could. I am not that stupid to fall for your trap, Vania. I don't wanna see nor hear from you anymore so stay the fuck away from my life!"
"Shawn. I-- I.. what about our babies?"tanya gue parau karena gue gak bisa berhenti nangis.
"Our babies? I doubt those even my babies!" Shawn bilang gitu dengan entengnya yang membuat hati gue makin sakit karena dia gak mau ngakuin anak-anaknya sendiri.
Apa yang udah terjadi sama Shawn yang gue kenal?
Gue gak bisa terus-terusan begini. Keputusan gue untuk pisah sama Shawn udah final sekarang. Gue gak bisa berharap sama orang yang gak bisa diajak bicara baik-baik kayak dia.
"Fine. But dont ever come begging to me for mercy someday. You dont know what you lose, Shawn." Bisik gue penuh kebencian sebelum akhirnya putusin sambungan teleponnya.
Tinggal gue, si kembar, dan keluarga gue sekarang. Gue gak tau masa depan kita gimana, tapi yang jelas gue gak sudi kasih anak-anak gue nama belakang Shawn. Titik.
****
"Brengsek!" Abang gue terus-terus ngumpat sambil marah gitu setelah gue cerita semuanya, sedangkan Mama nangis dan Papa ekspresinya gak bisa gue jelasin sama sekali. Kalau misalnya ekspresi bisa membunuh, gue mungkin udah lama ada di dalem kubur.
Gue cuma bisa peluk bantal ke dada gue sambil nahan tangis saat gue bilang gue mau pisah sama Shawn. Gue bukan tipe orang yang sekali pukul langsung nyerah, tapi kalau sama Shawn, gue gak bisa bertahan karena dia sendiri gak izinin gue untuk tahu apa salah gue.
"What about your babies? What would happen to them if you and Shawn got divorced?" Tanya Papa.
Gue hanya menggelengkan kepala gue lemah. "Shawn doesn't want them. They'll stay with me.. with us. Can they?"tanya gue.
"Boleh lah! Mama gak akan izinin cucu-cucu Mama diurus sama bapaknya yang kampret dan brengsek itu! Anjir."
Gue tersenyum kecil, lega dan agak terhibur sedikit dengan kata-kata mama. Dia paling anti kata-kata kasar dan sekarang dia paling berapi-api di sini. Gue mendekat ke Mama dan peluk dia. "Makasih, mama."
"Besok Mama sama Vania belanja buat si kembar, ya? Brian sama Papa harus ikut. Ajak Lilian dan Sheyna juga. Kita piknik ke mall." Gue terkekeh karena Mama paling bisa mencairkan suasana di sini.
"Vania sayang mama." Bisik gue dan mama menepuk pundak gue pelan. "Harus sayang. Mama yang ngelahirin kamu. Mama juga yang ngebuat kamu gak kaku kayak Papamu. Dan mama juga yang nanti bakal ngebuat si kembar biar gak kayak bapaknya yang sialan itu."
*****
🎉🎉🎉🎉
Happy Eid Al- Fitr!
😍
![](https://img.wattpad.com/cover/100534868-288-k982816.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DA BOSS
Novela Juvenil"Because life is unexpected."- VLMD Ps. Gak berpedoman pada EYD :")