Forty Two : Without Him

1K 110 5
                                        

"Ah, kamar cucu-cucu Mama udah beres sekarang." Mama tersenyum seneng. Papa, Bang Brian, dan Damian alias adik ipar gue akhirnya bisa bernapas lega karena terlepas dari omelan mama yang mau ini itu untuk kamar si kembar.

Gue sih duduk-duduk santai aja.

Aneh gak sih? Gue malah ngerasa kayak Mama yang mau lahiran dibandingkan gue yang 'terbilang' cukup santai dan tenang, meskipun sebenernya pikiran gue masih belum lepas dari Shawn dan perceraian kita.

Tinggal beberapa minggu lagi kontrak percobaan 1 tahun habis. Gue rasa gaada yang bisa diperbaiki dari ini semua karena Shawn sendiri gak mau ngasih tau gue salah apa dan malah ngata-ngatain gue seenaknya.

Mamanya Shawn dan adiknya lenyap aja dari hidup gue. Mereka kayak gak peduli lagi, atau bahkan udah kemakan sama omongannya Shawn yang bahkan gue gak tau apa.

Gue dan Shawn nikah. Sekitar 3 bulan kemudian, gue baru tau kalau gue udah hamil 2 bulan. Sekarang udah mau full term 9 bulan kehamilan.

3 - 2 + 9 = 10.

10 bulan gue dan Shawn nikah. Dalam 2 bulan, gue bakal jadi janda beranak dua. Parah banget, ya? Belum umur 30 tahun udah jadi janda.

Gue udah mikirin beberapa nama untuk bayi-bayi gue. Lebih tepatnya 4 nama.

Nicolas, Nicolaj, Leila, dan Luciana.

Semuanya bermarga Drewston. Nama tengahnya masih gue rahasiain setelah beberapa jam mendengar masukan dari keluarga gue.

Gue belum tau mereka laki atau perempuan. Jadi, ya.. begitu. Anyway, kabarnya adik gue yang keenakan kawin itu baik-baik aja dan masih suka nyebelin gitu kadang. Belakangan ini dia malah suka ngajak ngobrol perut bunder gue.

Pas gue tanya kapan dia mau punya anak, dia bilang dia udah sepakat sama Damian buat nikmatin pernikahan mereka dulu sebelum nanggung manusia kecil di hidup mereka.

Apa kabar gue nanti?

Janda beranak dua yang pengangguran.

Sialan!

Tapi, gapapa sih. Gue masih ada tabungan ini. Lumayan untuk nopang hidup gue dan manusia-manusia kecil di kandungan gue ini untuk beberapa bulan, atau bahkan tahun.

Apalagi pasti Mama sama Papa mau bantu gue buat biayain semua keperluan mereka. Bukan mau lagi, tapi pasti bakal maksa. Gue dan keluarga gue sepakat kalau kita gaakan minta uang apapun ke Shawn atau bahkan jaminan dan keperluan bulanan si kembar.

Keluarga gue memang gak sekaya Shawn, mata duit Kanada aja $1 = Rp. 10.000 +/-. Tapi, menurut perhitungan gue sih gaya dan biaya hidup pun sepadan. Jadi, kalau misalnya dipikir-pikir lagi, aset Shawn cuma beberapa persen lebih besar dari aset Papa yang sekarang dikelola Bang Brian, belom lagi kerjasama sama si Damian.

Gue mungkin bisa menggunakan kemampuan dan pengalaman gue untuk kerja di bagian keuangan perusahaan lagi nanti, setelah si kembar cukup besar untuk ditinggal kerja.

Gue mengelus pelan kandungan gue yang kadang suka kontraksi bohongan gitu. Suka keram dikit, terus ilang. Belum lagi kaki gue udah bengkak gitu kayak gajah.

"Aunt Vania?"keponakan gue si Sheyna muncul gitu di sebelah gue. Sekarang kita semua udah nyantai di ruang keluarga.

"Ya, sayang?"

"Kata Papa, di sini ada sepupunya Sheyna. Tapi, Sheyna gak tahu sepupu itu apa."

Gue tersenyum geli saat Sheyna menyentuh perut buncit gue. "Sepupu itu anaknya Aunty. Mereka nanti akan seperti adik kecilnya Sheyna."

DA BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang