Eleven : New Girl, New Game

1.6K 151 8
                                    

Gue pulang dengan lelahnya. Milly sama gue pisah di perempatan jalan sebelum hotel ini. Gue udah nanya-nanya dan minta bantuan ke Milly buat cari apartemen sewaan yang harga pas di kantong pendatang gitu.

Tapi rezeki emang sedang berpihak pada gue karena Milly malah ngajak gue tinggal bareng di apartemen sewaannya. Awalnya gue nggak enak, tapi setelah dipikir-pikir, mending gue bareng sama Milly aja biar sewanya juga lebih murah.

Setelah keputusan final dibuat, akhirnya gue mutusin buat terima tawaran Milly dengan syarat kita bayarnya setengah-setengah. Tapi, gue baru pindah ke sana nanti 3 hari lagi saat akhir bulan, pas bayaran.

Milly tinggal sendirian di sana karena keluarganya ada di kota berbeda, yaitu London.

Awalnya gue kira London yang di Inggris, tapi ternyata di Kanada juga ada kota London. Ya ampun, gue ngerasa oon banget. Mana udah gue bilang sama kayak kampung halaman papa gue lagi.

Hati gue masih was-was dan nggak enak soal kerjaan itu. Apalagi tuh yang interview si belagu. Kalau di dendam sama gue gimana? Bisa ilang harapan gue!

Bisa aja kan si belagu itu nolak gue karena dia dendam gara-gara kejadian-kejadian kemaren yang gue akui emang guenya rada kurang ajar sama dia. Tapi kalau si belagu itu nggak mulai duluan, gue juga nggak bakal begitu.

Pokoknya penentuan hidup sama mati gue di sini ada di tangan si belagu itu dan gue nggak suka hal kayak begini.

*****
Author's pov

Di sisi lain.

"Shawn, bagaimana dengan Diana kemarin?" tanya seorang wanita yang tidak lain adalah ibu dari seorang Shawn Alexander, CEO dari Alexader Enterprise.

Entah sudah yang keberapa kalinya ibunya itu mencoba menjodohkannya dengan anak-anak gadis temannya. Shawn sendiri sudah bosan dan muak.

Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menarik perhatiannya. Semuanya sama. Manja, suka uang, glamor, bahkan beberapa tidak pakai otak dan tidak bisa apa-apa.

Maksudnya, mereka apa-apa mengandalkan orang tuanya saja. Susah kalau dipinta berpikir kritis dan apa-apa mengandalkan kekayaan juga status sosial yang mereka miliki. Memang beberapa ada yang pintar, tapi tetap saja, entah kenapa seorang Shawn Alexander tidak tertarik dengan mereka.

Bahkan beberapa dari mereka taunya kalau menikah itu hanya untuk berhubungan, satuin perusahaan, dan buat anak. Bahkan tidak kepikiran akan segala risiko atau potensi yang terjadi di dalamnya.

"Sama saja. Tidak menarik." jawab Shawn cuek sambil melihat file-file calon karyawannya. Ibunya menghembuskan nafas berat.

"Kau akan berumur 29 tahun beberapa bulan lagi. Pikirkanlah baik-baik tentang pernikahan. Kebiasaanmu yang workaholic ini membuatku cemas."

"Cemas bagaimana?"

"Kau masih tidak mengerti, Shawn? Aku ini ibumu. Aku yang melahirkan dan membesarkanmu hingga seperti ini. Aku tahu bagaimana serius dan tekunnya kau menggeluti bidang ini. Aku juga tahu betapa kerasnya kau bekerja untuk sampai seperti ini. Perusahaan sederhana menjadi perusahaan internasional ternama.

"Percayalah. Aku tahu. Tapi aku lebih khawatir kalau kau jadi tidak terurus. Bahkan kau bisa sampai lupa segalanya kalau sudah berada di balik meja kebesaranmu ini."

Shawn mengangkat alisnya, "Lalu, apa yang sebenarnya mom coba sampaikan?"

"Kau butuh seseorang untuk memperhatikanmu, merawatmu, mengurusmu, mencukupi kebutuhanmu, dan memastikan jika kau baik-baik saja setiap waktu."

"Kau bisa percayakan itu pada asistenku, mom."

"Tidak. Bukan asisten. Ini lebih dari sekedar itu. Seseorang itu yang akan terus menemanimu tanpa lelah tak peduli sampai kapanmu itu. Seseorang yang akan menjadi rumahmu. Seseorang yang bisa kau ajak berbagi segalanya. Seseorang yang akan menopangmu jika kau jatuh. Seseorang yang akan menjadi ibu dari anak-anakmu. Dan seseorang yang kau gaji bukan dengan hanya uang, tapi cinta dan kasih sayang."

DA BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang