17 : SHOULD I :

3.2K 124 2
                                    

******
Tolong jangan kembali dengan beribu alasan, jika kamu pergi tanpa sepatah kata yang terucap.
-Ocha.
*******

Happy Reading✔

Bagiku Ben masih tetap tampan, namun dia tak memberitahuku apa pekerjaannya. Aku jadi menduga duga yang tidak tidak padanya.

Ia juga jadi sering mengunakan Rayban atau kacamata hitam yang menghiasi wajahnya. Sangat berbeda dengannya lima tahun yang lalu.

Saat ini aku sedang duduk manis dikursi sebelah kemudi mobil Sport Ben. Entah, rasanya sangat gugup sekali karena sudah lama tidak bertemunya.

Sebenarnya aku sedang tidak enak badan hari ini, namun disisi lain aku masih ingin menikmati waktuku bersama Ben.

"Kau mau makan? Wajahmu pucat sekali." Suara Ben mulai terdengar ditelingaku. Aku hanya mengeleng pelan kearahnya.

Ben tampaknya tak percaya dengan jawabanku, kemudian ia mulai membuka mulut untuk kembali berbicara. "Saya gak percaya dengan ucapan kamu."

Deg.....

Degg.....

Degggg......

Detak jantungku kembali berdetak sangat kencang, membuatku frustasi dan sangat gelisah. Aku tak bisa seperti ini terlebih pertanyaan pertanyaan yang tersisa didalam benakku.

Untuk apa dia kembali?

Mengapa dia tak memberikanku sebuah alasan yang pasti?

Bagaimana kehidupannya selama ini?

Apakah ia bertemu dengan wanita lain?

Siapakah wanita itu, apakah ia baik?

Darimanakah selama ini ia kembali pulang?

Oke, aku hanya memikirkan sebuah pertanyaan bodoh yang tersisa didalam benakku. Kapan ia akan menjelaskannya padaku?
Aku lupa memang aku siapanya Ben.

"Kamu Calon Istri saya." Ucap Ben menyerigai.

Loh, bagaimana ia bisa tahu? Apakah ia bisa membaca isi hatiku?

Aku mengakat sebelah alisku, "Tahu dari mana?"

Dia terkekeh pelan, pemandangan surga. "Wajah kamu sudah bercerita semuanya."

Aku takut, dia mirip pedofil.

"Tak usah takut seperti itu, saya sudah jinak padamu. Gak bakalan nerkam." Katanya sambil terkekeh pelan, Kenikmatan surgawi.

"Kita mau kemana?" Tanyaku bingung.

Dia melirikku sekilas sebelum melanjutkan acara mengemudinya. "Makan." dia tampak santai.

"Lalu kemana?"

Dia melirikku lagi, seram. "Kerumah orang tuamu." Katanya.

Aku mengangkat sebelah alisku, bingung. "Ngapain?"

"Saya mau ngelamar anaknya." Jawabnya yang membuat darahku kembali berdesir hebat.

Damn! Mengapa hati dan pikiranku tak sejalan sih!

-WEDDING?-


"Jadi, jawaban kamu. Mau atau nggak?"
Ben nyebelin, mengapa terus terusan menanyakan itu terus sih. Aku kan jadi salah tingkah seperti orang bodoh kayak gini.

"Jawabanku tergantung Ibuku, kalau ia tak setuju aku menolak, kalau ia setuju aku terpaksa menerimanya." Jawabku santai menyembunyikan rona rona merah yang bersembunyi diwajahku.

Dia terkekeh pelan, " Tentu saja Mau. Saya tadi bertanya padanya."

Aku melotot, rasanya aku ingin terjun dari atas Tugu Monas yang sangat tinggi. Aku telah meninggal saat ini.

"Ayo-

"Kemana?" potongku.

"-Kita menikah." Lanjutnya lagi. Aku mengeleng pelan.

"Aku belom cukup umur Ben." Tolakku mentah mentah.

Tiba tiba aku bisa melihat Papaku berjalan menghampiri kami berdua. Okay aku akan meninggal sekarang.

"Ingat janji kamu pada Papa?" Ungkitnya lagi, aku mengeleng kencang. Mendadak amnesia singkat.

"Aku gak pernah janji sama Papa." Aku tersenyum tak berdosa, Papa mengeleng pelan melihat tingkah lakuku.

"Papa mau menimang cucu segera, dari kamu. Papa tak terima bantahan apapun!"

Udahlah, kalau Papaku sudah seperti itu tandanya aku mau tak mau harus menuruti permintaannya kalau tidak mau ia mengulitiku sampai gundul.

"Tapi pekerjaanku Pa. Aku bulan depan sudah resmi jadi Dokter di Rumah sakit tempat magang aku Pa." Aku mengelak, mencoba mencari beribu ribu alasan lainnya untuk membantalkan pertunangan.

"Kalau urusan itu, Ben pasti akan mengerti. Ben juga tak akan mengaturmu soal pekerjaan, jadi kau bisa bekerja setelah menikah juga. Tak usah banyak alasan." Jawab Papa tenang.

Aku mendengus kencang, rupanya usahaku menolak mentah mentah perjodohan ini sia sia. Aku harus mencari jalan keluar yang lainnya.

"Bagaimana kalau-

"Tidak." Potong Papa cepat.

Aku memutar kedua bola mataku, "Papaku tersayang, aku belum ngomong loh udah main dipotong potong saja."

Ben tertawa renyah menyaksikan debat antara aku dan Papa.

"Papa sudah tahu alasan alasan kamu yang lain, kamu pasti akan menolak perjodohan ini kan." Papa benar. Papa sungguh mengerti tujuanku namun tidak dengan isi hatiku.

"Papa sudah menunda lima tahun perjodohan kalian, sekarang papa kira umur kalian cukup matang untuk menikah. Papa tak mau tahu." Lanjut Papa yang membuatku ingin menangis kencang saat ini.

"Tapi Pa-

"Papa Hanya mau yang terbaik untuk kamu, Papa rasa Ben bisa jadi Suami yang terbaik untukmu mengingat tingkahmu yang tak mengenakan itu sudah melewati batasannya." Potong papa kembali.

Papa memang suka memotong pembicaraan, terlebih jika aku yang berbicara. Papa mungkin waktu muda menjadi pemotong yang sangat disegani banyak dunia.

"Satu bulan lagi, kalian harus mengadakan pernikahan. Bagaimana dengan pekerjaan kamu Ben, apakah tidak terganggu?"

"Pa, Kok hanya Ben yang ditanyai. Mengapa hanya aku doang yang gak ditanyain kayak gitu." Aku kembali angkat suara, Papa sungguh tak adil padaku.

"Kamu menurut atau papa buat kamu keluar dari pekerjaanmu saat ini." Papa kembali berbicara seenak jidatnya, mentang mentang Papa terlalu banyak memegang saham di Rumah sakit tempatku berkerja itu.

"Nggak kok om." Jawab Ben sambil tersenyum sok manis. Aku sangat membencinya sekarang, sungguh tak berbohong lagi.

Papa dan Ben rupanya sudah masuk kedalam satu kubu yang harus aku hindari saat ini.

Harus!

-WEDDING?-
If you like this story please Vomment
Dont be a silent readers!

Xoxo

Ocha
2 Maret 2018♥

Wedding? (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang