Happy Reading♥
Keesokan harinya, Aku yang sudah berada di Indonesia memutuskan untuk bangun dari tidur singkatku. Disebelahku sudah ada Ben yang berbaring sambil menghadap kearahku. Jadwal penerbangan yang sangat lama ternyata bukan hanya membuatku sendiri yang tepar, melainkan Ben juga.
Aku meraih knop pintu yang berada didepanku saat ini, menutup pintu kamarku rapat namun dengan hati hati takut Ben terbangun.
Aku memang kekeuh menolak mentah mentah ajakan Ben untuk pulang kerumahnya, terlebih karena perlengkapan kerjaku yang masih berada dirumahku.
Aku melanjutkan langkahku menuju Kitchen Set yang berada tak jauh dari kamarku. Mengambil bahan bahan makanan yang tersedia didalam kulkas.
Saat ini aku sangat ingin memasakan sebuah masakan yang seringku masak dulu untuk Ben. Entahlah, apakah gejala pengantin muda itu bersarang padaku atau tidak.
Aku mengambil salah satu pisau yang tidak terlalu tajam dari lemari khusus pisau yang sengaja kutata sedemikian rupa. Mengarahkan pisau dan tomat kearah wastafel untuk menyuci dua duanya agar bersih. Itulah kebiasaanku.
Saat sudah kupikir bersih, aku mulai memotong tomat dengan ukuran tipis.
Kurasakan sebuah tangan kokoh melingkar diperutku. Sebuah wajah kokoh pun mulai tengelam dibalik lekukan leherku, sehingga aku bisa merasakan deru nafasnya yang hangat dileherku.
"Good morning!" Sapa Ben dengan suara serak khas bangun tidur.
"Lepasin, aku mau memasak dulu." Ucapku sambil menaruh pisau diatas talenan. Kemudian kedua tanganku gantian melepas tangan kokoh Ben yang melingkar diperutku.
"Ben!" Protesku sambil memutarkan tubuhku kearahnya, namun sial bibirku malah bersentuhan dengan bibirnya.
Oh my god!
-WEDDING?-
Aku berjalan menelusuri koridor rumah sakit tempatku berkerja dengan langkah gontai mengingat kondisiku yang belum sebegitu membaik.
Entahlah, aku sangat ingin berkerja saat ini. Ben memang melarangku untuk kembali bekerja secepat ini, namun aku tak peduli. Aku harus menyelesaikan rutinitasku, bekerja.
Ben sedang ambil cuti kerjanya selama dua minggu, dengan pengertian aku menyuruhnya untuk beres beres rumah saja dibanding ia tak memiliki kerjaan lain.
"Hey!" Sebuah suara mulai mengalihkan pandanganku, aku mendongak sedikit kearah pria berperawakan tegak itu- sebelas dua belas dengan Ben.
Satria sedikit berlari kearahku, aku bisa melihat salah satu tangannya sedang menenteng sebuah kantung plastik minimarket.
"Mau menemani saya?" Ajaknnya.
Aku diam, tak bisa menjawab perkataannya. "Soal Tasya." Jawabnya cepat.
Aku mengangguk mengerti, dengan cepat aku kembali berjalan dengan Satria yang mengekoriku dibelakang sampai di Taman Rumah Sakit yang berada tidak jauh dari tempatku tadi.
Kududukan diriku diatas bangku putih yang berada dirumah sakit itu. Diikuti dengan Satria yang duduk tepat disampingku.
"Bagaimana Kondisinya?" Satria menyodorkan sebuah botol air mineral kearahku, dengan senang hati aku menerima pemberiannya itu.
"Cukup baik, kondisi Tasya juga sudah membaik saat ini. Tapi yang harus anda perhatikan adalah pola makan Tasya yang tidak teratur." Jawabku memandang kedepan.
Tanganku dengan erat memutar tutup botol air mineral pemberian Satria tadi, namun sialnya tutup tersebut tidak terbuka juga.
"Kau tahu, Cinta itu pilihan, benci itu adalah takdir." Ucap Satria sambil membuka tutup botol Air mineral milikku yang sudah diambil alih olehnya.
Aku mengangkat salah satu alisku, bingung."Mengapa begitu?" Tanyaku.
Dia menyodorkan air mineral mililku berserta tutupnya yang langsung kuteguk menit itu juga.
"Kalau kau ingin mencintai seseorang pasti kau akan memilih milih dahulu siapa yang pantas untuk kau cintai. Namun kalau kau ingin membenci seseorang, kalau bukan takdir kau tak akan membencinya malah justru tidak bisa membencinya.
"Semua itu seperti cuaca yang tidak bisa di prediksi. Kapan akan terang, kapan akan mendung dan kapan akan hujan." Kata Satria sambil menghela nafasnya panjang.
Kuakui ucapan Satria ada benarnya juga. Aku juga merasakan hal tersebut pada saat waktu yang tak menentu.
"Sebenarnyaku sangat bingung dengan cinta. Cinta selalu datang membawa semua kejutan yang tak terduga, namun tiba tiba pergi membawa luka. Sebenarnya apa tujuan Tuhan menciptakan Cinta. Kalau hanya butuh satu orang untuk menghilangkannya." Satria mulai kembali melanjutkan argumentasinya. Kalau begini pria itu lebih pantas menyandang predikat Pakar Cinta atau Dokter Cinta?
Aku kembali meneguk air mineral yang berada di tangan kananku. Kali ini aku meminumnya dengan sangat hati hati sekali. Takut tersedak saat mendengar argumentasi Satria mengenai cinta itu lagi.
"Kau tahu, semakin aku membenci seseorang. Semakin Tuhan mendekatkan kami berdua." Kataku setelah selesai meneguk air mineral yang tadi kupegang.
Satria tersemyum kecut, "Aku pikir juga seperti itu tapi nyatanya tidak."
"Ya. Hidup ini penuh dengan kejutan tidak? Awalnya aku sangat tak menyukai suamiku, namun Tuhan berkata lain sekarang aku sudah benar benar mencintanya walaupun aku sangat egois dan menutup hati rapat rapat." Sekarang aku sepertinya sudah terkena virus virus dari Pria yang duduk disebelahku.
Satria awalnya tampak terkejut mendengar pengakuanku. Namun lama lama ekspresinya berubah menjadi biasa saja."Kau sudah menikah?" Tanyanya tiba tiba memecah keheningan diantara kami.
Aku mengangguk sambil tersenyum samar.
"Kapan itu?" Tanyanya.
"Belum lama ini, sewaktu ku berkunjung di City Hospital New York." Jelasku agar Satria tidak mewawancaraiku lagi.
Ternyata benar dugaanku, Satria hanya mengangguk mengerti tanpa mengingini untuk membalas penjelasanku tadi.
Aku menghirup nafas panjang, pandanganku lurus kedepan, tepat kepada tiga orang anak kecil yang mengunakan pakaian pasien VIP.
Mengapa aku jadi sangat sangat ingin menangis melihat mereka sakit ya?
-WEDDING?-
If you like this chapter please Vomment!
Dont be a silent readers!XOXO
Ocha
16 Maret 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding? (REVISI)
RomanceKetika Cinta, Keluarga dan mimpi berada dalam sebuah pilihan yang sulit Sebenarnya apa itu cinta? Kalau tujuannya hanya membuat jera? -Ocha Aku gasuka debat. Aku sukanya kamu, jadi tolong jangan diperdebatkan. Dan jangan memaksaku untuk berhenti me...