7. Meet Rival

2.6K 405 63
                                    


"Lisa."

Hanbin mengibaskan tangannya didepan wajah Lisa yang hanya menatapnya kosong, mimik wajahnya terlihat sedih bahkan kini airmatanya sudah memenuhi kelopak matanya yang bulat. Lisa tak mengindahkan panggilan dari Hanbin, dia terlalu kesal dia marah pada dirinya sendiri yang terlalu naif, harusnya Lisa sadar tak ada orang yang sebaik itu dikehidupan sekarang.

"Woy, jangan ngelamun disini. Kesambet gue yang repot."

"Maaf." Lisa menundukan kepalanya, airmatanya kini sukses mengalir dikedua pipinya. Hanbin yang sempat melihat itu hanya bisa berdecak dan mengacak rambutnya kasar. Dia sungguh tak suka melihat orang menangis terutama itu wanita. Dan lebih parahnya lagi dia Lisa, sahabat dari adiknya.

Jika sampai Jennie tau Lisa menangis seperti ini, bisa-bisa dia yang kena damprat dari Jennie.

"Kalau mau nangis jangan sekarang, lo tunggu disana.." Tunjuk Hanbin pada mobil hitam mengkilat miliknya. "...gue mau nyelsein masalah gue dulu, abis itu gue anter lo pulang."

Lisa hanya mengangguk seraya menghapus airmatanya dan berjalan menuju tempat yang ditujukan Hanbin tadi, melihat kepolosan Lisa seperti itu membuat Hanbin tersenyum geli.

Lisa terus berjalan dengan tangan tak hentinya menghapus airmata yang terus saja keluar dari tempatnya, dia sendiri tak mengerti kenapa bisa menangis hebat seperti ini. Hatinya sakit seperti ada sebuah benda tajam yang menusuk tepat pada hati dan jantungnya.

Apa seperti rasanya patah hati?

Jika sesakit ini, Lisa tak ingin memulainya lagi. Ini terlalu menyakitkan.

============

"Mesum tau tempat dong.!!"

Pekikan Hanbin sungguh membuat kedua orang yang kini sedang memadu kasih itu terlonjak. Eriska sontak berdiri dari pangkuan Mino seraya mengancingkan kemejanya kembali. Sementara Mino, dia hanya tersenyum miring seraya menghapus jejak saliva dibibirnya. Melihat itu Hanbin hanya terkekeh geli seraya melipat kedua tangannya didada. Dia menatap kedua orang itu datar.

"Gak berubah ya lo, masih bejat kaya dulu."

"Gue kira lo lupa sama gue, apa kabar?"

"Mino Adilaga..." Suara Hanbin terhenti sesaat. "...nama lo kedengeran femiliar ditelinga gue, tapi sayang rasanya gue gak kenal siapa lo."

Mino lantas tertawa mendengar jawaban dari Hanbin, dia tau Hanbin hanya berkata asal. Mino sudah mengenal bagaimana sifat dari Hanbin, bukankah seorang rival akan lebih tau kelemahan dan kelemahan musuhnya itu?

"Oh gak kenal? Kalo gitu biar gue perjelas siapa gue...."

"....gue Mino Adilaga anak dari Handika Adilaga pemilik HA Corp, perusahan yang bergerak dibidang Fashion, tekstil bahkan dunia hiburan juga. Adilaga rival terkuat dari Anggoro yang gue juga gak tau awal permusuhan pendahulu kedua keluarga itu dari mana, dan juga gue...."

Mino tersenyum miring melihat wajah datar Hanbin, perkatannya sengaja tak dia lanjutkan. Mino melangkah mendekati Hanbin, mendekatkan wajahnya pada telinga Hanbin.

"....Kakak dari Dana Adilaga, mantan terindah lo.!"

Mendengar nama itu disebut, Hanbin meringis tangannya terkepal. Emosinya meninggi namun dia sebisa mungkin menormalkan emosinya, jika Hanbin lepas kendali sekarang maka dapat dipastika kedua keluarga itu yang akan turun tangan dan tentu kehidupan Hanbin tak kan sebebas ini lagi. Anggoro pasti akan mengutus orang berbadan tegap yang akan mengekori Hanbin kemanapun dia pergi, percis seperti Lima tahun yang lalu.

"Ah, gue inget..." Hanbin tertawa sumbang dan mengangguk-anggukan kepalanya. "...gimana kabar adik lo? Masih galauin gue?"

"Ck."

[ A.1 ] Just a Tool [ COMPLETED ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang