DTMS-02

69.1K 3.6K 53
                                    

Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, masa sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, masa sekarang ....

Halaman gedung pengadilan itu dipenuhi hiruk-pikuk manusia pekerja hukum, juga para awak media yang antusias meliput sidang yang baru saja selesai digelar.

Wanita berhijab panjang warna donker keluar bersama seorang wanita jelita yang tidak berhijab. Di sepanjang koridor, berkali-kali si wanita berhijab mendapatkan ucapan selamat dari teman-teman pekerja hukum.

"Mbak Naela. Selamat, ya. Saya yakin kalau Mbak bisa memenangi kasus ini," ucap seorang wanita yang bekerja di kejaksaan. Ia menyalami wanita berhijab donker yang tak lain adalah Naela Alfiatul Husna.

Naela menanggapi dengan senyuman dan ucapan terimakasih. Dua wanita tadi terus berjalan menuruni tangga yang berujung halaman. Seketika, sekumpulan awak media yang sejak tadi menunggu di luar langsung berlari menghadang. Deretan ponsel dan alat perekam lainnya disodorkan. Pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan. Beberapa dari mereka bertanya bagaimana keadaan klien Naela: seorang asisten rumah tangga yang sebelumnya telah dituduh mencuri brangkas uang sang majikan.

"Mbak Sukarti hanya perlu menunggu beberapa hari lagi untuk bisa bebas. Ada beberapa hal yang harus ia selesaikan," jawab Naela dengan wajah puas.

Kerumunan itu perlahan bubar setelah hampir 30 menit kemudian. Naela menarik napas panjang, mengucapkan alhamdulillah lirih.

"Selamat, Nae."

Kali ini Naela harus membuka mata dua kali lebih besar. Seorang pemuda berkemeja, berambut gondrong, berdiri di hadapannya. Dia adalah jaksa penuntut umum yang tadi-selama jalannya persidangan-adalah yang paling gigih menjatuhkan semua pembelaan Naela. Tangan pemuda itu diulurkan sambil ia tersenyum penuh arti.

"Terimakasih," jawab Naela. Uluran tangan Kris ia abaikan.

"Urus saja pria itu. Bukankah kau menuntut klienku tidak lain hanya untuk menyelamatkan dia?" Naela menunjuk kecil ke arah lelaki yang diseret petugas dengan susah payah menuju mobil.

"Peperangan kita belum usai, Nae. Bahkan bisa jadi kita lanjutkan di luar persidangan."

Jemari Naela seketika mencengkeram kertas-kertas yang ada di tangan hingga kusut. Naela tidak habis pikir, apa maksud Kris mengatakan peperangan akan berlanjut di luar persidangan?

"Aku tidak pernah merasa sedang berperang, Kris. Semua ini kulakukan karena memang Mbak Sukarti itu benar dan laki-laki kaya itu salah. Apa maksud ucapanmu?"

Kris mengusap rambut gondrong sebahu yang kini dikucir rapi. Pemuda itu tertawa hingga tampak deretan giginya. Tak langsung menjawab, justru ia membuka jas hitamnya hingga menyisakan setelan kemeja panjang berwarna biru muda pudar. Sebenarnya ia sudah tidak betah dalam setelan resmi seperti sekarang.

"Kita lihat saja nanti." Ia pergi begitu saja setelah mengedipkan mata. Pemandangan yang membuat Naela muak.

"Kau selalu menjengkelkan, Kris! Dengar, kau tidak akan pernah menang baik di pengadilan maupun di luar. Ingat itu!" teriak Naela hampir saja melemparkan tumpukan kertas ke punggung Kris. Setelah kalimat Naela tuntas, Kris hanya merespon dengan mengangkat tangan kiri, seolah-olah berkata 'terserahlah'.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang