DTMS-19

23.1K 2.1K 20
                                    

Rais tidak masuk kantor hari ini. Sekretarisnya bilang, laki-laki itu demam tinggi sehingga tidak memungkinkan untuk berangkat kerja. Naela tidak mau menunggu sampai hari esok datang. Ia harus menemui Rais. Pagi ini juga.

Berbekal alamat rumah yang didapat dari kantor, Naela melajukan motornya menuju salah satu bangunan apartemen mewah di kawasan Ciputra World, Jakarta Selatan.

"Naela?" tanya Rais dari balik pintu yang baru terbuka beberapa senti.

"Ada yang ingin saya bicarakan." Ucap Naela lugas. Ia bahkan tidak bisa tersenyum.

Laki-laki yang wajahnya terlihat pucat itu seperti berpikir sejenak. Ia ragu, tapi tidak ada pilihan lain.

"Aku sungguh-sungguh tidak bisa keluar." Rais coba membuat alasan.

"Kau memang terlihat sakit. Buka saja pintunya. Kita bicara di dalam."

Rais menatap Naela, seperti menyelidiki sesuatu.

"Baiklah."

Apartemen mewah itu sepi. Semakin meyakinkan Naela kalau lelaki ini sama sekali tidak punya istri. Naela berjalan menuju sofa sambil matanya menyapu seluruh ruangan.

"Duduklah." Rais menghempaskan tubuh ke sofa. Sepertinya ia sungguhan sakit. Bisa dilihat dari matanya yang cekung, bibir pucat, dan tubuh lemah. Ia memijit kepalanya sambil menanti Naela bicara.

"Mana istrimu?"

Rais kembali menatap Naela. Pandangan itu sulit diterjemahkan. Sesaat kemudian ia menunduk, berekspresi seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Dia pulang ke rumah orang tuanya."

"Sejak kapan?"

"Sejak pertengkaran di mobil hari itu." Jawab Rais malas.

"Kau tidak menyusulnya?"

Rais memandang Naela, "Kau datang kemari hanya untuk bertanya seputar rumah tanggaku? Ini konyol." Ia tersenyum kecut. Tidak senang. Terganggu. Sangat berbeda dengan Rais yang sebelumnya pernah bicara dengan Naela. Jika dulu ia terlihat ramah dan murah senyum, sekarang sama sekali telah lenyap. Laki-laki ini tampak angker, dingin, dan tidak memikirkan orang lain. Mendadak Naela menyesal karena datang seorang diri.

"Kau belum menikah, Rais. Jangan berbohong lagi." Ucap Naela dengan pandangan tajam. Ada penekanan dalam suaranya, meskipun dalam hati ia sedikit gemetar.

Laki-laki itu terperanjat. Bibirnya terbuka.

"Dan tentang foto hasil USG di mobilmu. Itu milik Cyntia, bukan? Kau menikam sahabat sekaligus bosmu sendiri. Diam-diam kau dan Cyntia menjalin hubungan gelap sampai wanita itu hamil. Katakan, apa aku benar?!" Kali ini wajah Naela berubah Marah. Sebenarnya ia masih belum yakin dengan apa yang dikatakan. Ia masih menduga-menduga. Tapi berdasarkan pengalamannya menjadi pengacara, trik seperti ini selalu berhasil membuat orang mengaku.

Rais masih belum bisa bicara. Tapi entah kenapa, mendadak ia tertawa.

"Ternyata kau tahu banyak, Naela. Aku tidak menyangka wanita sepertimu bisa menyelidiki sejauh ini. Harus kuakui, kau tidak bisa diremehkan."

"Jadi itu benar?" Mata Naela membulat. Keterkejutannya cukup disimpan di dalam hati.

"Begitulah." Rais mengangkat bahu. "Kau ingin aku menceritakan semuanya dari awal? Mungkin kisah ini membuatmu begitu tertarik."

Naela memandang laki-laki di depannya dengan jijik. Juga benci. Marah. Semuanya jadi satu.

"Apa Kian pernah cerita padamu, apa yang ia lakukan setelah pulang dari koferensi di Konpenhagen delapan tahun lalu?"

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang